Minggu, 29 November 2015

VERZET



A.    Pengertian Perlawanan
Verzet secara bahasa merupakan kata yang diambil dari bahasa Belanda yang artinya perlawanan.[1] Sedangkan verzet menurut istilah adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Ketentuan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rgb. Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya dikalahkan.[2] Apabila tergugat dihukum denganputusan tanpa kehadirannya (verstek), maka ia berhak mengajukan verzet.
Dengan adanya verzet maka kedudukan tergugat adalah pelawan (opposant), sedangkan pihak terlawan adalah penggugat asal yang akan diletakkan beban pembuktian. Jadi dengan demikian pemeriksaan verzet yang diperiksa adalah gugatan penggugat, maka penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Adapun mengenai praktek upaya hukum verzet ini harus dinyatakan oleh tergugat secara tegas, bila tidak dinyatakan secara tegas maka verzet dinyatakan tidak dapat diterima.[3]
Sedangkan keterkaitan verzet bila dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek. Tujuan melakukan perlawanan ialah agar terhadap putusan itu dilakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan  pemeriksaan kontradiktor dengan permintaan supaya putusan verstek dibatalkan, serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa verzet merupakan pemberian kesempatan yang wajar kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaiannya tidak menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.[4]
Perlawanan terhadap putusan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang  bagi setiap orang untuk mempertahankan hak-haknya, namun hal ini terbatas kepada tergugat saja dan tidak termasuk penggugat. Sebaliknya pada ketentuan undang-undang menurut Pasal 8 ayat 1 UU.20/1947 tentang pengadilan peradilan ulangan dan Pasal 200 R.Bg apabila penggugat meminta banding maka tertutup hak tergugat mengajukan verzet. Hak ini diberikan kepada penggugat untuk mensejajari perlakuan yang seimbang dengan tergugat. Kepada tergugat diberi upaya verzet dan kepada penggugat upaya banding. Jika undang-undang tidak memberi hak banding kepada penggugat berarti hukum mematikan haknya meminta koreksi terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama.[5]
B.     Proses Pengajuan Verzet
Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa, yaitu tertulis dan ditandatangani oleh tergugat sendiri atau oleh kuasanya apabila ia telah menunjuk kuasa khusus, atau telah ditandaangani oleh hakim bagi yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan menunjuk nomor putusan verstek yang dilawan itu. Surat tuntutan verzet dibuat rangkap enam atau lebih menurut kebutuhan, tiga rangkap untuk majlis, satu rangkap untuk berkas, dan untuk masing-masing penggugat dan tergugat disesuaikan dengan jumlah mereka.

C.    Perlawanan Diajukan Kepada PN yang Menjatuhkan Putusan Verstek
Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi yurusdiksi semula yang menjatuhkan verstek. Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil:
1.      Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya
2.      Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang ditentukan Pasal 129 ayat (2) HIR
3.      Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.
4.      Penegasan mengajukan perlawanan kepada PN yang semula menjatuhkan putusan verstek, digariskan dalam Pasal 129 ayat (3) HIR.
D.    Perlawanan terhadap Verstek, Bukan Perkara Baru
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, akan tetapi,ada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Sehubungan dengan itu, Putusan MA No. 307K/Sip/1975 memperingatkan, bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedemikian eratnya kaitan antara perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan opposant sama persis dengan tergugat asal dan terlawan (geopposeorde) adalah penggugat asal. Demikian penegasan Putusan MA 493K/Pdt/1983 yang mengatakan dalam proses verzet atau verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat
E.     Perlawanan Mengakibatkan Putusan Verstek Mentah Kembali
Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan sendirinya menurut hukum:
1.      Putusan verstek menjadi mentah kembali
2.      Eksistensinya dianggap tidak pernah ada (never existed)
3.      Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan itu mencantumkan amar dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar by voorraad).
F.     Hak melakukan perlawanan terhadap putusan verstek
Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg., Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: dalam menghitung tenggang waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung).
Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah Sita Eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) berada dalam satu nomor perkara.
Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) RBg. dan SEMA No.9 Tahun 1964).
Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).
Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
1.      Menyatakan Pelawan adalah pelawan yang benar.
2.      Membatalkan putusan verstek.
3.      Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan pengugat.
4.      Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi :
a.       Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar.
b.      Menguatkan putusan verstek tersebut.
c.       Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama dan hanya ada satu nomor perkara.[6]



[1] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1997), hlm.881.
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2002), hlm.224.
[3] Dadan Muttaqien, Dasar-Dasar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Insania Citra Pres, 2006), hlm.71.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.400.
[5] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.102.
[6] Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009, hlm. 386-387. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.