Minggu, 29 November 2015

VERZET



A.    Pengertian Perlawanan
Verzet secara bahasa merupakan kata yang diambil dari bahasa Belanda yang artinya perlawanan.[1] Sedangkan verzet menurut istilah adalah upaya hukum terhadap putusan yang dijatuhkan diluar hadirnya tergugat. Ketentuan Undang-Undang yang mengatur hal tersebut dijelaskan dalam Pasal 125 ayat (3) jo Pasal 129 HIR, Pasal 149 ayat (3) jo Pasal 153 Rgb. Pada asasnya perlawanan ini disediakan bagi pihak tergugat yang pada umumnya dikalahkan.[2] Apabila tergugat dihukum denganputusan tanpa kehadirannya (verstek), maka ia berhak mengajukan verzet.
Dengan adanya verzet maka kedudukan tergugat adalah pelawan (opposant), sedangkan pihak terlawan adalah penggugat asal yang akan diletakkan beban pembuktian. Jadi dengan demikian pemeriksaan verzet yang diperiksa adalah gugatan penggugat, maka penggugat mempunyai kewajiban untuk membuktikan dalil-dalil gugatannya. Adapun mengenai praktek upaya hukum verzet ini harus dinyatakan oleh tergugat secara tegas, bila tidak dinyatakan secara tegas maka verzet dinyatakan tidak dapat diterima.[3]
Sedangkan keterkaitan verzet bila dihubungkan dengan putusan verstek mengandung arti bahwa tergugat melawan putusan verstek atau tergugat mengajukan perlawanan terhadap putusan verstek. Tujuan melakukan perlawanan ialah agar terhadap putusan itu dilakukan pemeriksaan ulang secara menyeluruh sesuai dengan  pemeriksaan kontradiktor dengan permintaan supaya putusan verstek dibatalkan, serta sekaligus meminta agar gugatan penggugat ditolak. Dengan demikian dapat dipahami bahwa verzet merupakan pemberian kesempatan yang wajar kepada tergugat untuk membela kepentingannya atas kelalaiannya tidak menghadiri persidangan diwaktu yang lalu.[4]
Perlawanan terhadap putusan merupakan hak yang diberikan oleh undang-undang  bagi setiap orang untuk mempertahankan hak-haknya, namun hal ini terbatas kepada tergugat saja dan tidak termasuk penggugat. Sebaliknya pada ketentuan undang-undang menurut Pasal 8 ayat 1 UU.20/1947 tentang pengadilan peradilan ulangan dan Pasal 200 R.Bg apabila penggugat meminta banding maka tertutup hak tergugat mengajukan verzet. Hak ini diberikan kepada penggugat untuk mensejajari perlakuan yang seimbang dengan tergugat. Kepada tergugat diberi upaya verzet dan kepada penggugat upaya banding. Jika undang-undang tidak memberi hak banding kepada penggugat berarti hukum mematikan haknya meminta koreksi terhadap putusan verstek yang telah dijatuhkan oleh Pengadilan tingkat pertama.[5]
B.     Proses Pengajuan Verzet
Tuntutan verzet dibuat seperti gugatan biasa, yaitu tertulis dan ditandatangani oleh tergugat sendiri atau oleh kuasanya apabila ia telah menunjuk kuasa khusus, atau telah ditandaangani oleh hakim bagi yang tidak dapat membaca dan menulis, dengan menunjuk nomor putusan verstek yang dilawan itu. Surat tuntutan verzet dibuat rangkap enam atau lebih menurut kebutuhan, tiga rangkap untuk majlis, satu rangkap untuk berkas, dan untuk masing-masing penggugat dan tergugat disesuaikan dengan jumlah mereka.

C.    Perlawanan Diajukan Kepada PN yang Menjatuhkan Putusan Verstek
Kewenangan menerima dan memeriksa perlawanan, jatuh menjadi yurusdiksi semula yang menjatuhkan verstek. Dengan demikian, agar permintaan perlawanan memenuhi syarat formil:
1.      Diajukan oleh tergugat sendiri atau kuasanya
2.      Disampaikan kepada PN yang menjatuhkan putusan verstek sesuai dengan batas tenggang waktu yang ditentukan Pasal 129 ayat (2) HIR
3.      Perlawanan ditujukan kepada putusan verstek tanpa menarik pihak lain, selain daripada penggugat semula.
4.      Penegasan mengajukan perlawanan kepada PN yang semula menjatuhkan putusan verstek, digariskan dalam Pasal 129 ayat (3) HIR.
D.    Perlawanan terhadap Verstek, Bukan Perkara Baru
Perlawanan merupakan satu kesatuan yang tidak terpisah dengan gugatan semula. Oleh karena itu, perlawanan bukan gugatan atau perkara baru, akan tetapi,ada lain merupakan bantahan yang ditujukan kepada ketidakbenaran dalil gugatan, dengan alasan putusan verstek yang dijatuhkan, keliru dan tidak benar. Sehubungan dengan itu, Putusan MA No. 307K/Sip/1975 memperingatkan, bahwa verzet terhadap verstek tidak boleh diperiksa dan diputus sebagai perkara baru. Sedemikian eratnya kaitan antara perlawanan dengan gugatan semula, menyebabkan opposant sama persis dengan tergugat asal dan terlawan (geopposeorde) adalah penggugat asal. Demikian penegasan Putusan MA 493K/Pdt/1983 yang mengatakan dalam proses verzet atau verstek, pelawan tetap berkedudukan sebagai tergugat dan terlawan sebagai penggugat
E.     Perlawanan Mengakibatkan Putusan Verstek Mentah Kembali
Apabila diajukan verzet terhadap putusan verstek, dengan sendirinya menurut hukum:
1.      Putusan verstek menjadi mentah kembali
2.      Eksistensinya dianggap tidak pernah ada (never existed)
3.      Oleh karena itu, jika terhadapnya diajukan perlawanan, putusan verstek tidak dapat dieksekusi, meskipun putusan itu mencantumkan amar dapat dilaksanakan terlebih dahulu (uitvoerbaar by voorraad).
F.     Hak melakukan perlawanan terhadap putusan verstek
Sesuai Pasal 129 HIR/153 RBg., Tergugat/ Para Tergugat yang dihukum dengan Verstek berhak mengajukan verzet atau perlawanan dalam waktu 14 (empat belas) hari terhitung setelah tanggal pemberitahuan putusan verstek itu kepada Tergugat semula jika pemberitahuan tersebut langsung disampaikan sendiri kepada yang bersangkutan. (Pasal 391 HIR: dalam menghitung tenggang waktu maka tanggal/ hari saat dimulainya penghitungan waktu tidak dihitung).
Jika putusan itu tidak langsung diberitahukan kepada Tergugat sendiri dan pada waktu aanmaning Tergugat hadir, maka tenggang waktunya sampai pada hari kedelapan sesudah aanmaning (peringatan).
Jika Tergugat tidak hadir pada waktu aanmaning maka tenggang waktunya adalah hari kedelapan sesudah Sita Eksekusi dilaksanakan. (Pasal 129 ayat (2) jo. Pasal 196 HIR dan Pasal 153 ayat (2) jo. Pasal 207 RBg). Kedua perkara tersebut (perkara verstek dan verzet terhadap verstek) berada dalam satu nomor perkara.
Perkara verzet sedapat mungkin dipegang oleh Majelis Hakim yang telah menjatuhkan putusan verstek.
Hakim yang melakukan pemeriksaan perkara verzet atas putusan verstek harus memeriksa gugatan yang telah diputus verstek tersebut secara keseluruhan. Pemeriksaan perkara verzet dilakukan secara biasa (lihat Pasal 129 ayat (3) HIR, Pasal 153 ayat (3) RBg. dan SEMA No.9 Tahun 1964).
Apabila dalam pemeriksaan verzet pihak penggugat asal (Terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilanjutkan secara contradictoire, akan tetapi apabila Pelawan yang tidak hadir maka Hakim menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan kedua kalinya ini tidak dapat diajukan perlawanan, tetapi bisa diajukan upaya hukum banding (Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg).
Apabila verzet diterima dan putusan verstek dibatalkan maka amar putusannya berbunyi:
1.      Menyatakan Pelawan adalah pelawan yang benar.
2.      Membatalkan putusan verstek.
3.      Mengabulkan gugatan penggugat atau menolak gugatan pengugat.
4.      Apabila verzet tidak diterima dan putusan verstek tidak dibatalkan, maka amar putusannya berbunyi :
a.       Menyatakan pelawan adalah pelawan yang tidak benar.
b.      Menguatkan putusan verstek tersebut.
c.       Terhadap putusan verzet tersebut kedua belah pihak berhak mengajukan banding. Dalam hal diajukan banding, maka berkas perkara verstek dan verzet disatukan dalam satu berkas dan dikirim ke Pengadilan Tinggi Agama dan hanya ada satu nomor perkara.[6]



[1] Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum, (Semarang : Aneka Ilmu, 1997), hlm.881.
[2] Sudikno Mertokusumo, Hukum Acara Perdata di Indonesia, (Yogyakarta : Liberty, 2002), hlm.224.
[3] Dadan Muttaqien, Dasar-Dasar Hukum Acara Perdata, (Yogyakarta : Insania Citra Pres, 2006), hlm.71.
[4] M. Yahya Harahap, Hukum Acara Perdata, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.400.
[5] M. Yahya Harahap, Kekuasaan Pengadilan Tinggi dan Proses Pemeriksan Perkara Perdata dalam Tingkat Banding, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.102.
[6] Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Agama/Mahkamah Syar'iyah, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI, Jakarta, 2009, hlm. 386-387. Keputusan Ketua Mahkamah Agung RI Nomor: KMA/032/SK/IV/2006 tentang Pemberlakuan Buku II Pedoman Pelaksanaan Tugas dan Administrasi Pengadilan.

Rabu, 05 November 2014

Kajian Teks : Metode Bayani



PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Pemikiran keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan melalui berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang melekat pada perspektif dan metode tersebut tentunya.
Al-Qur’an dan sunnah merupakan teks tertulis, demikian juga pendapat atau fatwa ulama dalam segala wujudnya telah membentuk sebagai suatu pengetahuan. Teks yang dihidup, masih terus vital dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayangkan atau dijelaskan secara tidak berkesedahan sehinggan muncul lah ilmu seolah-olah (ilmu yang muncul karena restartemen atau lewat penggungkapan ulang apa yang sudah dikata kan dan dijelaskan dalam teks masa lampau). Hampir tidak ada yang terlalu baru dimasa kini berbanding masa lampau. Jadi yang terjadi didunia islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi mengunungnya kata-kata yang dirumuskan ulag dari kata-kata yang sudah ada sebelumnya, tanpa proses kreatif dan penalaran yang memadai. Ini lah yang mengukuhkan aspek legalisme dan eksoterisme islam, yang disebut oleh al-jabiri sebagai aktifitas memberanakkan kata-kata.
Umat islam sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan secara turun temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkat rahasia dan hikmah ilahiyah dialam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan porsi lebih banyak kepada aktifitas penalaran agar ciri khas manusia sebagai “makhluk yang bertindak berdasarkan ide” dapat teralisasi. Jika tidak, isi otak umat islam tidak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa ditemukannya bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Guna mewujudkan hal tersebut para ulama menawarkan beberapa konsep pemikiran yang diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang islam. Salah satu metode yang ditawarkan dan akan penyusun kaji yakni metode bayani.


B.     RUMUSAM MASALAH
1.      Bagaimana pengertian metode atau kaidah bayani?
2.      Apa tujuan penemuan hukum menggunakan metode bayani?
3.      Bagaimana proses penemuan hukum yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani?
4.      Seperti apakah contoh memahami ayat/teks dengan metode bayani?



BAB II
PEMBAHASAN
A.    Pengertian Metode Bayani
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah metodepenemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin : yakni prosesmencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan (al-izhar) ; upaya memahami(alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham) ; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[1] Dalam ushul al-fiqh yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan adalah Al-Qur’an dan Hadis.[2]


B.     Tujuan Metode Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para ulama (fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk :
1.      Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk mengeluarkan makna zahir dari lafadz dan ‘ibarah yang zahir pula.
2.     Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya. Makna lafadz yang terkandung dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz. al Jabiri menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran Arab baik dalam fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.

C.     Proses Penemuan Hukum
Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1.      Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika” yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan pembenaran dari putusan yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak semata-mata hanya penerapan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk hukum.
2.      Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi, Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat undang-undangdan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai dariperencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi hukum itusarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum. Interperstasi itulahmeruapakan ruh dari metode bayani.
3.      Ilmuwan hukum / Fuqahak, Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan dan penilaianhukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan bobot dankualitas hukum.

Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan ke dalamsebelas macam yaitu :
1.      Interprestasi Gramatikal (menurut bahasa).
Penafsiran kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa. Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-katanyadari hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah katadapat mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata“musytarak”
2.      Interprestasi historis.
Setiap ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harusmenafsirkan dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalamkonteks ini dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturanhukum pembuat undang-undang (syari’) sehinggga kehendak pembuat hukum sangatmenentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah hukumnya(rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin memahami undang-undangdalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang tekait dengan kelembagaanhukumnya.Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam timbulnya hukum dalampenafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul ayat atau asbabul wurud hadist.
3.      Interprestasi sistematis.
Penafsiran sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem,artinya aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya denganjenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat dengan hadis,hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
4.       Interprestasi sosiologis atau teologis.
Secara sosiologis/ teologis apabila makna peraturan/ ayat dietapkan berdasarkantujuan kemaslahatan.Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaanatau kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan kenyataan hukum(rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan teologis sangat penting.Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh Umar bin Khathab tidak potongtangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri potong tangan, namun kenyataanhukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan masyarakat.
5.      Interprestasi komparatif.
Dimaksudkan sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)berbagai sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkanpendapat-pendapat imam mazhab.
6.       Interperstasi futuristik.
Disebut juga metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasanketentuan hukum dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatanhukum., karena peraturannya masih dalam rancangan.
7.       Interperstasi restriktif.
Metode interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga” dalamfiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari perkarangandi sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga penyewa, iniberarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8.      Interprestasi ekstensif.
Metode penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil interprestasigramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah oleh qadhi boleh ditafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk segala peralihan hak.
9.      Interprestasi otentik atau secara resmi.
Dalam jenis interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengancara lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam undang-undangitu sendiri.
10.  Interperstasi interdisipliner.
Bisa dilakukan dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmuhukum, di sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.Sebagai contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakimdapat menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukumpidana, administrasi negara dan perdata.
11.  Interprestasi multidisipliner.
Seorang hakim harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luarilmu hukum.


D.    Contoh memahami ayat/teks Al-quran dengan metode bayani
Setelah memahami berbagai uraian mengenai pengertian, tujuan, dan cara pengambilan atau penyelesaian suatu peristiwa yang berdasarkan dengan kajian gramatikal, maka perlu kita aplikasikan ke dalam tindakan yang konkrit. Artinya, kita harus menerapkan teori-teori di atas ke dalam contoh yang nyata mengenai kajian teks secara bayani. Sebab, jika teori tidak diikuti dengan praktik, maka akan menyebabkan pemahaman yang kurang komprehensif.





Berikut adalah contoh penafsiran ayat alquran yang akan dikaji berdasarkan metode bayani.

يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya: ”Wahai orang-orang yang beriman!apabila telah diseru untuk melaksanakan shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.[3]
Kajian Bayani Teks
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُو  kata يَا pada penggalan ayat tersebut merupakan huruf nidak, yang huruf berfungsi sebagai kata untuk menyeru. Dalam penggalan ayat ini, kata seruan tersebut ditujukan kepada setiap orang mukmin.Sedangkan lafadz آمَنُوا bermakna haqiqi secara urf atau haqiqat urfiyah, yang berbentuk jamak dari lafadz آمَن. Makna dasar dari kata tersebut adalah percaya, yang secara kebiasaan lafadz tersebut memiliki makna setiap “orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya”.
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ   :Lafadz إِذَاpada penggalan ayat tersebut merupakan lafadz syarthiyah. Sedangkan lafadz نُودِيmerupakan bentuk majhul dari lafadz naada.Lafadz ini memiliki makna majazy yang berarti adzan, yang mana aslinya adalah memanggil. Sebab, lafadz tersebut diikuti oleh kata لِلصَّلَاةِ yang memiliki arti haqiqat syar’iyah—Bukan nlagi berarti doa, melainkan perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang dimaksud dengan Nida’ disini adalah adzan yang dimana Imam sudah berada diatas minbar,  pada awalnya adzan ini Cuma dilakukan 1 kali, lantas Utsman adzan menjadi 2 kali dikarenakan banyaknya orang yang hendak sholat jum’at di Madinah.
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ     :lafadz ini memiliki makna sholat jumat yang dilakukan pada hari juma’at setelah zawal (matahari persis ditengah-tengah). Kata jum’ah  jim dan mim dhommah, sukun pada mim,al-Juma’  adalah jama’ seperti pada kata ghurfatun adalah ghurofun dan juga jum’aat seperti ghurfaat, harinya disebut al-‘Aruubah yang pertama kali menyebutnya dengan jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ai (al Anshar).
فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ: Memiliki arti tunaikanlah Sholat. Lafadz فَاسْعَوْا   إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ jawab dari lafadz إِذَا. Sedangkan lafadz فَاسْعَوْاmemiliki arti bergegas dan lafadz ذِكْرِ اللَّهِ merupakan makna majazy dari kata sholat. yang dimaksud dengan Sa’aa disini adalah bukan dengan berlari atau tergessa-gesa melainkan berjalan pelan-pelan. Dalam hadits shohih dikatakan: jika telah didirikan sholat maka janganlah kalian tergesa-gesa tetapi dirikanlah dengan tenang. Dzikrullah adalah sholat dan khutbah jum’at karena iulah ayat ini menggunakan kata Dzikrullah.[4]


BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi. Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari metode bayani.
Tujuan adanya metode bayani adalah :
1.      Memahami dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz.
2.      Mengambil istinbath hukum-hukum dari al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya.
Proses penemuan hukum menurut metode bayani :
1.      Penemuan hukum bayani oleh qadhi (hakim)
2.      Penemuan hukum bayani oleh badan legislasi
3.      Ilmuwan hukum / Fuqahak

B.     SARAN
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita terhadap salah satu metode yang dapat kita gunakan untuk beristinbath, yaitu metode bayani. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.
























DAFTAR PUSTAKA
Hamidi, Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, Yogyakarta : UII Pres, 2004.
Khallaf, Abd Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait : Dari al-Qalam, 1978.
Hatta, Ahmad, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah: Qs. al-jumu'ah ayat 9, Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2010.
Jabir al Jazaairy, Abi Bakar, Aysaar at Tafaasir Likalaami al ‘Aliyyi al Kabiir,J.V, Madinah : Maktabah al’Uluum wal Hikam, 1994.


[1]Jazim Hamidi, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (Yogyakarta : UII Pres, 2004), hlm.23
[2] Abd Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dari al-Qalam, 1978), hlm.34
[3] Ahmad Hatta, Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah: Qs. al-jumu'ah ayat 9,( Jakarta:Maghfirah Pustaka: 2010),554a
[4] .Abi Bakar Jabir al Jazaairy, Aysaar at Tafaasir Likalaami al ‘Aliyyi al Kabiir,J.V, (Madinah: Maktabah al’Uluum wal Hikam: 1994),350.