PENDAHULUAN
A.
LATAR BELAKANG
Pemikiran
keislaman yang berkembang pada masa sekarang ini telah dilakukan melalui
berbagai perspektif dan metodologi. Dimana setiap perspektif dan metode yang
digunakan mempunyai ciri tersendiri disamping kelebihan dan kekurangan yang
melekat pada perspektif dan metode tersebut tentunya.
Al-Qur’an dan
sunnah merupakan teks tertulis, demikian juga pendapat atau fatwa ulama dalam
segala wujudnya telah membentuk sebagai suatu pengetahuan. Teks yang dihidup,
masih terus vital dan tak jarang dianggap sakral itu kemudian dibayangkan atau
dijelaskan secara tidak berkesedahan sehinggan muncul lah ilmu seolah-olah
(ilmu yang muncul karena restartemen atau lewat penggungkapan ulang apa yang
sudah dikata kan dan dijelaskan dalam teks masa lampau). Hampir tidak ada yang
terlalu baru dimasa kini berbanding masa lampau. Jadi yang terjadi didunia
islam sesungguhnya bukanlah bertambahnya ilmu agama, tapi mengunungnya
kata-kata yang dirumuskan ulag dari kata-kata yang sudah ada sebelumnya, tanpa
proses kreatif dan penalaran yang memadai. Ini lah yang mengukuhkan aspek
legalisme dan eksoterisme islam, yang disebut oleh al-jabiri sebagai aktifitas
memberanakkan kata-kata.
Umat islam
sudah terlalu banyak mengonsumsi ilmu-ilmu yang dihafalkan dan diwariskan
secara turun temurun. Juga terlalu banyak menghabiskan waktu untuk menyingkat
rahasia dan hikmah ilahiyah dialam raya. Sudah pada tempatnya untuk memberikan
porsi lebih banyak kepada aktifitas penalaran agar ciri khas manusia sebagai
“makhluk yang bertindak berdasarkan ide” dapat teralisasi. Jika tidak, isi otak
umat islam tidak akan lebih dari susunan huruf dan biji tasbih tanpa
ditemukannya bukti bahwa otak itu pernah bekerja sebagaimana mestinya. Guna
mewujudkan hal tersebut para ulama menawarkan beberapa konsep pemikiran yang
diharapkan dapat memberikan pemahaman baru tentang islam. Salah satu metode
yang ditawarkan dan akan penyusun kaji yakni metode bayani.
B.
RUMUSAM MASALAH
1.
Bagaimana
pengertian metode atau kaidah bayani?
2.
Apa tujuan
penemuan hukum menggunakan metode bayani?
3.
Bagaimana
proses penemuan hukum yang dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode
bayani?
4.
Seperti apakah
contoh memahami ayat/teks dengan metode bayani?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian Metode Bayani
Secara etimologi, bayan berarti
penjelasan atau eksplanasi.
Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu
kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari
pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa
infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas
dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan
metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari
metode bayani.
Dalam perspektif penemuan hukum Islam dikenal juga dengan istilah
metodepenemuan hukum al-bayan mencakup pengertian al-tabayun dan al-tabyin
: yakni prosesmencari kejelasan (azh-zhuhr) dan pemberian penjelasan
(al-izhar) ; upaya memahami(alfahm) dan komunikasi pemahaman (al-ifham)
; perolehan makna (al-talaqqi) dan penyampaian makna (al-tablig).[1] Dalam ushul
al-fiqh yang dimaksud nash sebagai sumber pengetahuan adalah Al-Qur’an dan
Hadis.[2]
B.
Tujuan Metode Bayani
Metode bayani yang telah lama digunakan dan diterapkan oleh para
ulama (fuqaha, mutakallimun dan ushuliyun) ini bertujuan untuk :
1.
Memahami
dan menganalisis teks guna menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung
dalam (dikehendaki) lafadz. Dengan kata lain, pendekatan ini dipergunakan untuk
mengeluarkan makna zahir dari lafadz dan ‘ibarah yang zahir pula.
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari
al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya. Makna lafadz yang terkandung
dalam nash (Al Qur’an dan Hadits), dikehendaki oleh dan diekspresikan melalui
teks dapat diketahui dengan mencermati hubungan makna dan lafadz. al Jabiri
menyatakan bahwa metode bayani yang digunakan dalam pemikiran Arab baik dalam
fiqh, nahwu atau teologi didasarkan pada mekanisme yang menjadi landasan bagi
metode fuqaha. Hal ini dikarenakan para ulama ushul fiqh merangkum berbagai
cabang ilmu yang sesuai dengan tujuan mereka dan menjadikannya sebuah ilmu.
C.
Proses Penemuan Hukum
Di bawah ini dapat kita lihat bagaimana proses penemuan hukum, yang
dilakukan oleh ahli hukum dengan pendekatan metode bayani :
1.
Penemuan hukum
bayani oleh qadhi (hakim) : Sebelum mengambil putusan (ex ante) disebut “heuristika”
yaitu proses mencari dan berfikir yang mendahului tindakan pengambilan putusan
hukum. Pada tahap ini berbagai argumen pro-kontra terhadap suatu putusan
tertentu ditimbang-timbang antara yang satu dengan yang lain, kemudian
ditemukan mana yang paling tepat. Dan tahap sesudah pengambilan putusan (ex
post) disebut “legitimasi” yang berkenan dengan pembenaran dari putusan
yang sudah dimbil. Pada tahap ini putusan diberi motivasi (pertimbangan) dan
argumentasi secara substansial, dengan cara menyusun suatu penalaran yang
secara rasional dapat dipertanggungjawabkan. Apabila suatu putusan hukum tidak
bisa diterima oleh forum hukum, maka berarti putusan itu tidak memperoleh
legitimasi. Konsekuensinya, premis-premis yang baru harus diajukan, dengan
tetap berpegang pada penalaran ex ante, untuk menyakini forum hukum
tersebut agar putusan dapat diterima. Disnilah pentingnya penemuan hukum bayani
oleh hakim pada saat menemukan hukum. Penemuan hukum oleh hakim tidak
semata-mata hanya penerapan undang-undang dan peraturan-peraturan hukum
terhadap peristiwa konkrit, tetapi sekaligus pencipta hukum dan pembentuk
hukum.
2.
Penemuan hukum
bayani oleh badan legislasi, Metode penemuan hukum ini mempunyai peran penting bagi para pembuat
undang-undangdan peraturan kebijakan, sebab pembuatan hukum yang dimulai
dariperencanaan, perancangan pembahasan, putusan, sampai dengan sosialisasi
hukum itusarat dengan pekerjaan interprestasi atau pemahaman hukum.
Interperstasi itulahmeruapakan ruh dari metode bayani.
3.
Ilmuwan hukum /
Fuqahak, Ilmuwan / fuqahak berperan dalam memberikan anotasi (pandangan
dan penilaianhukum) atas suatu pristiwa hukum di masyarakat sehingga meningkatkan
bobot dankualitas hukum.
Secara umum metode interprestasi (al bayan) ini dapat dikelompokkan
ke dalamsebelas macam yaitu :
1.
Interprestasi
Gramatikal (menurut bahasa).
Penafsiran
kata-kata dalam teks hukum sesuai kaidah bahasa dan kaidah hukum tatabahasa.
Dengan mencoba menangkap arti sesuatu teks / peraturan menurut bunyi kata-katanyadari
hasil interprestasinya bisa lebih mendalam dari teks aslinya, sebuah katadapat
mempunyai berbagai arti, dalam bahasa fiqh dikenal dengan kata-kata“musytarak”
2.
Interprestasi
historis.
Setiap
ketentuan hukum mempunyai sejarahnya sendiri, oleh karenaya harusmenafsirkan
dengan jalan meneliti sejarah kelahiran hukum itu dirumuskan. Dalamkonteks ini
dapat dilakukan dua bentuk, yaitu pertama, mencari maksud dari aturanhukum
pembuat undang-undang (syari’) sehinggga kehendak pembuat hukum
sangatmenentukan. Kedua, sejarah kelembagaan hukumnya atau sejarah
hukumnya(rechthistorisch) adalah metode interprestasi yang ingin
memahami undang-undangdalam konteks seluruh sejarah hukumnya, khusunya yang
tekait dengan kelembagaanhukumnya.Maka dalam konteks sejarah Hukum Islam
timbulnya hukum dalampenafsiran hukum Islam dapat dilihat dari asbabunul
ayat atau asbabul wurud hadist.
3.
Interprestasi
sistematis.
Penafsiran
sebuah aturan hukum atau ayat sebagai bagian dari keseluruhan sistem,artinya
aturan itu tidak berdiri sendiri, tetapi selalu difahami dalam kaitannya
denganjenis peraturan yang lainnya, seperti penafsiran ayat dengan ayat, ayat
dengan hadis,hadis dengan ayat, hadis dengan hadis.
4.
Interprestasi sosiologis atau teologis.
Secara sosiologis/
teologis apabila makna peraturan/ ayat dietapkan berdasarkantujuan
kemaslahatan.Dalam interprestasi ini dapat menyelesaikan adanya perbedaanatau
kesenjangan antara sifat positif hukum (rechtpositiviteit) dengan
kenyataan hukum(rechtwerkejkheid) sehingga interprestasi sosialogis dan
teologis sangat penting.Sebagai contoh penerapan hukum yang diterapkan oleh
Umar bin Khathab tidak potongtangan bagi pencuri, postif hukum setiap pencuri
potong tangan, namun kenyataanhukum tidak dilaksanakan karena situasi keadaan
masyarakat.
5.
Interprestasi
komparatif.
Dimaksudkan
sebagai metode penafsiran dengan jalan membandingkan (muqarina)berbagai
sistem hukum baik dalam suat negara Islam ataupun membandingkanpendapat-pendapat
imam mazhab.
6.
Interperstasi futuristik.
Disebut juga
metode penemuan hukum yang bersifat antisipasi yaitu penjelasanketentuan hukum
dengan berpedoman pada aturan yang belum mempunyai kekuatanhukum., karena
peraturannya masih dalam rancangan.
7.
Interperstasi restriktif.
Metode
interprestasi yang sifatnya membatasi, seperti gramatika kata “tetangga”
dalamfiqh mu‟amalah, dapat diartikan setiap tetangga itu termasuk penyewa dari
perkarangandi sebelahnya, tetapi kalau dibatasi menjadi tidak termasuk tetangga
penyewa, iniberarti seorang qadhi telah melakukan interprestasi restriktif.
8.
Interprestasi
ekstensif.
Metode
penafsiran yang membuat interprestasi melebihi batas-batas hasil
interprestasigramatikal, seperti perkataan al-ba‟i dalam fiqh mu‟amalah
oleh qadhi boleh ditafisrkan secara luas yaitu tidak saja jual beli termasuk
segala peralihan hak.
9.
Interprestasi
otentik atau secara resmi.
Dalam jenis
interprestasi ini, qadhi tidak diperkenankan melakukan penafsiran dengancara
lain selaian dari apa yang telah ditentukan pengertiannya di dalam
undang-undangitu sendiri.
10.
Interperstasi
interdisipliner.
Bisa dilakukan
dalam suatu analisis masalah yang menyangkut berbagai disipilin ilmuhukum, di
sini dipergunakan logika penafsiran lebih dari satu cabang ilmu hukum.Sebagai
contoh, interprestasi atas pasal yang menyangkut kejahatan “korupsi” hakimdapat
menafsirkan ketentuan pasal ini dalam berbagai sudut pandang yaitu hukumpidana,
administrasi negara dan perdata.
11.
Interprestasi
multidisipliner.
Seorang hakim
harus juga mempelajari suatu atau beberapa disiplin ilmu lain di luarilmu hukum.
D.
Contoh memahami ayat/teks Al-quran dengan metode bayani
Setelah memahami berbagai uraian mengenai pengertian, tujuan, dan
cara pengambilan atau penyelesaian suatu peristiwa yang berdasarkan dengan
kajian gramatikal, maka perlu kita aplikasikan ke dalam tindakan yang konkrit.
Artinya, kita harus menerapkan teori-teori di atas ke dalam contoh yang nyata
mengenai kajian teks secara bayani. Sebab, jika teori tidak diikuti dengan
praktik, maka akan menyebabkan pemahaman yang kurang komprehensif.
Berikut adalah contoh penafsiran ayat alquran yang akan dikaji
berdasarkan metode bayani.
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُوا إِذَا نُودِيَ لِلصَّلَاةِ مِنْ يَوْمِ الْجُمُعَةِ فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ ذَلِكُمْ خَيْرٌ لَكُمْ إِنْ كُنْتُمْ تَعْلَمُونَ
Artinya:
”Wahai orang-orang yang beriman!apabila telah diseru untuk melaksanakan
shalat pada hari jum’at, maka segeralah kamu mengingat Allah dan tinggalkanlah
jual beli. Yang demikian itu lebih baik bagimu jika kamu mengetahui”.[3]
Kajian Bayani Teks
يَا أَيُّهَا الَّذِينَ آمَنُو kata يَا pada penggalan ayat tersebut merupakan huruf
nidak, yang huruf berfungsi sebagai kata untuk menyeru. Dalam penggalan ayat
ini, kata seruan tersebut ditujukan kepada setiap orang mukmin.Sedangkan lafadz
آمَنُوا
bermakna haqiqi secara urf atau haqiqat urfiyah, yang berbentuk jamak
dari lafadz آمَن. Makna dasar dari kata tersebut adalah percaya, yang secara
kebiasaan lafadz tersebut memiliki makna setiap “orang yang percaya kepada Allah dan RasulNya”.
إِذَا نُودِي لِلصَّلَاةِ :Lafadz إِذَاpada
penggalan ayat tersebut merupakan lafadz syarthiyah. Sedangkan lafadz نُودِيmerupakan bentuk majhul dari lafadz naada.Lafadz
ini memiliki makna majazy yang berarti adzan, yang mana aslinya adalah
memanggil. Sebab, lafadz tersebut diikuti oleh kata لِلصَّلَاةِ yang
memiliki arti haqiqat syar’iyah—Bukan nlagi berarti doa, melainkan
perbuatan yang diawali dengan takbir dan diakhiri dengan salam.Yang dimaksud dengan Nida’
disini adalah adzan yang dimana Imam sudah berada diatas minbar, pada
awalnya adzan ini Cuma dilakukan 1 kali, lantas Utsman adzan menjadi 2 kali
dikarenakan banyaknya orang yang hendak sholat jum’at di Madinah.
مِن يَوْمِ الْجُمُعَةِ :lafadz ini memiliki makna sholat jumat yang
dilakukan pada hari juma’at setelah zawal (matahari
persis ditengah-tengah). Kata jum’ah jim
dan mim dhommah, sukun pada mim,al-Juma’ adalah jama’
seperti pada kata ghurfatun adalah ghurofun dan juga jum’aat
seperti ghurfaat, harinya disebut al-‘Aruubah yang pertama kali
menyebutnya dengan jum’at adalah Ka’ab bin Lu’ai (al Anshar).
فَاسْعَوْا
إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ: Memiliki arti tunaikanlah Sholat. Lafadz فَاسْعَوْا إِلَى ذِكْرِ اللَّهِ وَذَرُوا الْبَيْعَ jawab dari lafadz إِذَا. Sedangkan lafadz فَاسْعَوْاmemiliki arti bergegas dan lafadz ذِكْرِ
اللَّهِ
merupakan makna majazy dari kata sholat. yang dimaksud dengan Sa’aa disini adalah bukan dengan berlari atau
tergessa-gesa melainkan berjalan pelan-pelan. Dalam hadits shohih dikatakan: jika telah didirikan sholat maka janganlah kalian tergesa-gesa tetapi
dirikanlah dengan tenang. Dzikrullah adalah sholat dan khutbah jum’at
karena iulah ayat ini menggunakan kata Dzikrullah.[4]
BAB III
PENUTUP
A.
KESIMPULAN
Secara etimologi, bayan berarti penjelasan atau eksplanasi.
Al-Jabiri, berdasarkan beberapa makna yang diberikan kamus Lisân al-Arâb–suatu
kamus karya Ibn Mandzur dan dianggap sebagai karya pertama yang belum tercemari
pengertian lain--tentang kata ini, memberikan arti sebagai al-fashl wa
infishâl (memisahkan dan terpisah) dan al-dhuhûr wa al-idhhâr (jelas
dan penjelasan). Makna al-fashl wa al-idhhâr dalam kaitannya dengan
metodologi, sedang infishâl wa dhuhûr berkaitan dengan visi (ru`y) dari
metode bayani.
Tujuan adanya metode bayani adalah :
1. Memahami dan menganalisis teks guna
menemukan atau mendapatkan makna yang dikandung dalam (dikehendaki) lafadz.
2. Mengambil istinbath hukum-hukum dari
al nushush ‘an diniyyah dan Al Qur’an khususnya.
Proses penemuan hukum menurut metode bayani :
1.
Penemuan hukum
bayani oleh qadhi (hakim)
2.
Penemuan hukum
bayani oleh badan legislasi
3.
Ilmuwan hukum /
Fuqahak
B.
SARAN
Demikian
makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah
wawasan dan pemahaman kita terhadap salah satu metode yang dapat kita gunakan
untuk beristinbath, yaitu metode
bayani. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak
kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan.
Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan,
guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Hamidi,
Jazim, Hermeneutika Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi
Teks, Yogyakarta : UII Pres, 2004.
Khallaf, Abd
Wahhab, Ilm Ushul al-Fiqh, Kuwait :
Dari al-Qalam, 1978.
Hatta, Ahmad,
Tafsir Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah: Qs.
al-jumu'ah ayat 9, Jakarta : Maghfirah Pustaka, 2010.
Jabir al Jazaairy, Abi Bakar, Aysaar
at Tafaasir Likalaami al ‘Aliyyi al Kabiir,J.V, Madinah : Maktabah al’Uluum
wal Hikam, 1994.
[1]Jazim Hamidi, Hermeneutika
Hukum, Teori Penemuan Hukum Baru Dengan Interprestasi Teks, (Yogyakarta :
UII Pres, 2004), hlm.23
[2] Abd Wahhab Khallaf, Ilm Ushul al-Fiqh, (Kuwait : Dari
al-Qalam, 1978), hlm.34
[3] Ahmad Hatta, Tafsir
Qur’an Perkata dilengkapi dengan Asbabun Nuzul dan Terjemah: Qs. al-jumu'ah
ayat 9,( Jakarta:Maghfirah Pustaka: 2010),554a
[4] .Abi Bakar
Jabir al Jazaairy, Aysaar at Tafaasir Likalaami al ‘Aliyyi al Kabiir,J.V,
(Madinah: Maktabah al’Uluum wal Hikam: 1994),350.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar