Rabu, 08 Oktober 2014

Hukum Perdata : Makalah Perceraian



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Tujuan perkawinan pada umumnya adalah untuk membina rumah tangga yang bahagia, sejahtera, dan kekal abadi. Akan tetapi, proses kehidupan yang terjadi terkadang tak jarang tidak sesuai dengan apa yang diimpikan. Hambatan serta rintangannya pun bermacam-macam dan datang dari segala penjuru. Apabila dalam perkawinan itu, sepasang suami dan istri tidak kuat dalam menghadapinya, maka biasanya jalan yang ditempuh adalah perpisahan yang secara hukum dikenal dengan perceraian.
Tetapi, tidak selamanya masalah yang datang akan mengakibatkan perceraian. Karena kematian pun secara otomatis akan melekatkan status cerai kepada suami atau istri yang ditinggalkan. Selain itu, keputusan hakim juga berpengaruh dalam penentuan status. Apabila hakim tidak menghendaki atau tidak memutus cerai maka pernikahan tersebut tidak bisa dikatakan telah bubar.
Permasalahannya adalah setiap peceraian atau status cerai yang diinginkan dapat tercapai apabila dilaksanakan sesuai dengan prosedur yang ada. Seperti, syarat bagaimana suatu hubungan diperbolehkan untuk bercerai, alasan-alasan yang diajukan memenuhi atau tidak, tata cara yang dilalui telah sesuai atau tidak, hal ini sangat penting untuk diperhatikan. Karena, apabila tidak memenuhi hal-hal tersebut, maka akan menimbulkan kerugian bahwasannya hubungan pernikahan dianggap masih tetap berlangsung.

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa definisi dari perceraian ?
2.      Apa saja syarat-syarat perceraian ?
3.      Apa saja alasan-alasan dilakukannya perceraian ?
4.      Apa akibatnya dilakukannya perceraian ?




BAB II
PEMBAHASAN
1.      Definisi Perceraian
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu.[1] Perkawinan sebagai ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga bahagia, sejahtera, kekal abadi berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa sebagaimana diatur di dalam Undang-Undang Perkawinan dapat putus karena : kematian, perceraian, atas keputusan pengadilan. Ketentuan ini diatur di dalam Pasal 38 Undang-Undang Perkawinan.[2]
Perceraian biasa disebut “cerai talak” dan atas keputusan pengadilan disebut “cerai gugat”. Cerai talak perceraian yang dijatuhkan oleh seorang suami kepada istrinya yang perkawinannya dilaksanakan menurut agama islam (Pasal 14 PP No. 9/1975). Cerai gugat adalah perceraian yang dilakukan oleh seorang istri yang melakukan perkawinan menurut agama islam dan oleh seorang suami atau seorang istri yang melangsungkan perkawinannya menurut agamanya dan kepercayaan itu selain agama Islam (penjelasan Pasal 20 ayat (1) PP No. 9/1975). Cerai talak dan cerai gugat hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan (Pasal 39 ayat (1) PP No. 9).
Gugatan Provisional (pasal 77 dan 78 UU No.7/89), sebelum putusan akhir dijatuhkan hakim, dapat diajukan pula gugatan provisional di Pengadilan Agama untuk masalah yang perlu kepastian segera, misalnya:
a.       Memberikan ijin kepada istri untuk tinggal terpisah dengan suami.
b.      Ijin dapat diberikan untuk mencegah bahaya yang mungkin timbul jika suami-istri yang bertikai tinggal serumah.
c.       Menentukan biaya hidup/nafkah bagi istri dan anak-anak yang seharusnya diberikan oleh suami.
d.      Menentukan hal-hal lain yang diperlukan untuk menjamin pemeliharaan dan pendidikan anak.
e.       Menentukan hal-hal yang perlu bagi terpeliharanya barang-barang yang menjadi harta bersama (gono-gini) atau barang-barang yang merupakan harta bawaan masing-masing pihak sebelum perkawinan dahulu.

2.      Syarat-Syarat  Perceraian
Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat, yaitu[3] :
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Putusan perceraian harus didaftarkan pada Pegawai Pencatatan Sipil di tempat perkawinan itu telah dilangsungkan. Mengenai perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri, pendaftaran itu harus dilakukan pada Pegawai Pencatatn Sipil di Jakarta. Pendaftaran harus dilakukan dalam waktu enam bulan setelah hari tanggal putusan hakim. Jikalau pendaftaran dalam waktu yang ditentukan oleh undang-undang dilalaikan, putusan perceraian kehilangan kekuatannya, yang berarti, menurut undang-undang perkawinan masih tetap berlangsung.

3.      Alasan Perceraian
Undang-undang tidak membolehkan perceraian dengan mufakat saja antara suami dan istri, tetapi harus ada alasan yang sah. Alasan-alasan ini ada empat macam :
a.       Zina.
b.      Ditinggalkan dengan sengaja.
c.       Penghukuman yang melebihi lima tahun karena dipersalahkan melakukan suatu kejahatan.
d.      Penganiayaan berat atau membahayakan jiwa (Pasal 209 B.W.).[4]
Undang-undang perkawinan Pasal 19 PP 9/1975  menambah dua alasan, yaitu :
a.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
b.      Antara suami istri terus-menerus terjadi perselisihan atau pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga.
Lebih lengkapnya, alasan-alasan ini tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19 :
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.

4.      Akibat Perceraian
Akibat dari perceraian ada dua, yakni :
a.       Akibat bagi istri dan harta kekayaan.
Undang-undang Perkawinan mengatur dengan tuntas tentang kedudukan harta benda di dalam perkawinan. Ketentuan yang terdapat di dalam pasal 37 Undang-undang Perkawinan menegaskan bahwa bila perkawinan putus karena perceraian, harta bersama diatur  menurut hukumnya masing-masing.[5]
Menurut pasal 35, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 harta benda dalam perkawinan ada yang disebut harta bersama yakni harta benda yang diperoleh selama perkawinan berlangsung. Disamping ini ada yang disebut harta bawaan dari masing-masing suami dan isteri dan harta yang diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan sepanjang para pihak tidak menentukan lain. Karena itu pasal 36 menetukan bahwa harta bersama suami atau isteri dapat bertindak atas persetujuan kedua belah pihak, sedang mengenai harta bawaan dan harta diperoleh masing-masing sebagai hadiah atau warisan, suami dan isteri mempunyai hak sepenuhnya untuk melakukan perbuatan hukum mengenai harta bendanya.
Menurut penjelasan pasal 35, apabila perkawinan putus maka harta bersama tersebut diatur menurut hukumnya masing-masing. Disini tidak dijelaskan perkawinan putus karena apa. Karena itu perkawinan putus mungkin karena salah satu pihak mati, mungkin pula karena perceraian. Akan tetapi pasal 37 mengaitkan putusnya perkawinan itu karena perceraian yakni apabila perkawinan putus karena perceraian harta bersama diatur menurut hukumnya masing-masing. Yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing menurut penjelasan pasal 37 ini ialah hukum agama, hukum adat dan hukum lain-lainnya. Apa yang dimaksud dengan hukumnya masing-masing pada penjelasan pasal 35 adalah sama dengan pasal 37.
b.      Akibat terhadap anak yang masih dibawah umur.
Akibat terhadap anak yang masih di bawah umur ada dua, yakni[6] :
1)      Perwalian
Masalah perwalian diatur dalam Pasal 220 dan Pasal 230. Dengan bubarnya perkawinan maka hilanglah kekuasaan orang tua, terhadap anak-anak dan kekuasaan ini diganti dengan suatu perwalian. Mengenai perwalian ini ada ketentuan-ketentuan seperti berikut :
a)      Setelah oleh hakim dijatuhkan putusan di dalam hal perceraian ia harus memanggil bekas suami istri dan semua keluarga sedarah dan semenda dari anak-anak yang belum dewasa untuk didengar tentang pengangkatan seorang wali. Hakim kemudian menetapkan untuk tiap anak siapa dari antara dua orang tua itu yang harus menjadi wali. Hakim hanya dapat menetapkan salah satu dari orang tua. Siapa yang ditetapkan itu terserah kepada hakim sendiri.
b)      Jika setelah perceraian mempunyai kekuatan mutlak, terjadi sesutau hal yang penting, maka atas permintaan bekas suami atau istri, penetapan pengangkatan wali dapat diubah oleh hakim.
2)      Keuntungan-keuntungan yang ditetapkan menurut undang-undang atau menurut perjanjian perkawinan.
Hal-hal yang mengatur mengenai keuntungan bagi anak-anak terdapat dalam passal 231. Dengan perceraian hubungan suami istri terputus, tetapi hubungan dengan anak-anak tidak. Maka, sudah sepantasnya jika segala keuntunhan bagi anak-anak yang timbul berhubungan dengan perkawinan orang tuanya tetap ada. Keuntungan hak waris atau dari perjanjian kawin, umpamanya jika pada perjanjian kawin ditentukan sesuatu keuntungan bagi si istri maka jika si istri ini meninggal maka anak-anak berhak atas keuntungan yang dijanjikan kepada ibunya.
Akibat lain yang dijelaskan adalah :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).




BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Perceraian ialah penghapusan perkawainan dengan putusan hakim, atau tuntutan salah satu pihak dalam perkawinan itu. Syarat-syarat perceraian termaktub dalam pasal 39 Undang-undang perkawinan terdiri dari 3 ayat.
a.       Perceraian hanya dapat dilakukan di depan sidang pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak.
b.      Untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan, bahwa antara suami istri itu tidak akan hidup rukun sebagai suami istri.
c.       Tata cara perceraian di depan sidang pengadilan diatur dalam peraturan perundangan tersendiri.
Alasan-alasan peeraian tercakup lebih rinci dalam ayat 2 Undang-undang Perkawinan pasal 39 dalam PP pada pasal 19.
a.       Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabok, pemadat, penjudi, dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan.
b.      Salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain diluar kemampuannya.
c.       Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung.
d.      Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain.
e.       Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri.
f.       Antara suami dan isteri terus-menerusterjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukunlagi dalam rumah tangga.


Akibat dari perceraian yaitu, akibat bagi istri dan harta kekayaan, dan akibat terhadap anak yang masih dibawah umur, serta masih ada akibat-akibat yang lainnya, yaitu :
a.       Bapak dan ibu tetap berkewajiban memelihara dan mendidik anak-anaknya semata-mata berdasarkan kepentingan anak, bilamana ada perselisihan mengenai penguasaan anak-anak Pengadilan member keputusannya.
b.      Bapak yang bertanggungjawab atas semua biaya pemeliharaan dan pendidikan yang diperlukan anak itu, bilamana bapak dalam kenyataannya tidak dapat memenuhi kewajiban tersebut, Pengadilan dapat menentukan bahwa ibu ikut memikul niaya tersebut .
c.       Pengadilan dapat mewajibkan kepada bekas suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi bekas istri (Pasal 41 UU No. I. 1974).

B.     SARAN
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai putusnya perkawinan, khususnya perceraian. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.



[1] Subekti, Pokok-Pokok Hukum Perdata, (Jakarta : PT Intermasa, 1989), hlm.42.
[2] Sudarsono, Hukum Perkawinan Nasional, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1991), hlm.116.
[3] Amir Syarifuddin, Hukum Perkawinan Islam di Indonesia, (Jakarta : Kencana, 2009), hlm.227.
[4] Subekti, hlm.43.
[5] Sudarsono, hlm.122.
[6]Ali Afandi, Hukum Waris Hukum Keluarga Hukum Pembuktian, (Jakarta : PT Rineka Cipta, 1997), hlm.133.

Selasa, 07 Oktober 2014

Fikih Jinayah : Unsur-unsur Jinayah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar syari’at yang ada. Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya seperti dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam, ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur sedemikian rupa. Jadi, apabila seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga telah siap menerima jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Akan tetapi, pemberian jarimah tidak serta merta diberikan begitu saja. Harus diketahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana agar pemberian jarimah diberikan secara tepat sehingga keadilan dapat tercapai. Karena, suatu perbuatan akan mendapat jarimah apabila unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana itu sendiri terpenuhi.
Umat Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat tema yang didasarkan pada pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur dalam tindak pidana Islam, sehingga penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah dengan judul “Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam.”

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian unsur-unsur tindak pidana Islam ?
2.      Bagaimana klasifikasi unsur-unsur tindak pidana Islam ?
  

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut [1]: 
a.       Secara yuridis normatif disuatu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.
b.      Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.[2]
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam [3]:
a.       Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b.      Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.       Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. 
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru dianggap sebagai pencurian dan pelakunya dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi unsure-unsur sebagai berikut :
a.       Ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan hukuman. Ketentuan tentang hukuman pencurian ini tercantum dalam Surah Al-Maidah (38) yang berbunyi :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
b.      Perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukan, walaupun baru percobaan saja. Misalnya sudah mulai membongkar pintu rumah korban, meskipun belum mengambil barang-barang yang ada di dalamnya.
c.       Orang yang melakukannya adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu baligh dan berakal. Dengan demikian apabila orang yang melakukannya gila atau masih di bawah umur maka ia tidak dikenakan hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana.

2.      Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
a.       Unsur Formal Jarimah
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai berikut :
a)      Asas legalitas dalam hukum pidana Islam
Salah satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah :
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.”[4]
            Kaidah di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi :
“Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”[5]
            Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.”[6]
            Asas legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang menggambarkan adanya asas legalitas diantaranya adalah Surah Al-Isra ayat 15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan demikian maka syariat Islam telah mengenal lebih dahulu asas ini.
b)      Sumber-sumber aturan-aturan pidana Islam
Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum pidana Islam formil, atau hukum acara pidana semua sumber hukum tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan qiyas dalam jarimah tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
c)      Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum pidana Islam juga tidak berlaku surut.[7] Hal ini juga dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 22-23, Al-Maidah ayat 38.
d)     Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam. Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum Islam. Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin atau negeri dimana hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana terdapat umat Islam.
e)      Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syariat Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum itu sama tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, dan sebagainya. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu hanya satu, yaitu yang paling takwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat : 13
“Wahai sekalian manusia, kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling takwa.”
b.      Unsur Materiil Jarimah
Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Misalnya dalan jarimah zina unsur materiilnya adalah perbuatan yang merusak keturunan, jarimah qadzaf unsut materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina, sedangkan jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dengan kata lain pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah :
“Melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan.”
a)      Percobaan melakukan jarimah
Dalam pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian percobaan sebagai berikut :
“Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.”[8]
            Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.
            Pada fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW :
Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.”[9]
            Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat. Akan tetapi mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dipandang sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman.
            Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat.
b)      Turut serta melakukan jarimah
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan secara tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan kesengajaan.
c)      Unsur Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah
a.       Pertanggungjawaban pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.[10]
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri, bukan orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. 
b.      Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena bertalian dengan keadaan pelaku. Sebab-sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang disebut asbab al-ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam, yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam :
a.       Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b.      Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.       Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
Klasifikasi unsur-unsur jarimah :
a.       Unsur formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan pidana Islam, masa berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan itu berlaku.
b.      Unsur materiil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana Islam.
c.       Unsur moral (pertanggungjawaban) jarimah, meliputi pertanggungjawaban pidana dan hapusnya pertanggung jawaban pidana.

B.     SARAN
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai unsure-unsur tindak pidana Islam. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

As-Sayuthi, Jalaluddin, Al Asybah wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t.

Audah, Abdul Qadir, At Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, Beirut : Dar Al-Kitab, t.t.

Hanafi, A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967.
‘Imarah, Musthafa Muhammad Jawahir Al Bukhari, Kairo : Maktabah At Tujariyah Al Kubra, 1356 H.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Zahrah, Muhammad Abu, Al Jarimah wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, Kairo : Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.t.



[1] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.22.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.27-28.
[3] Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, (Beirut : Dar Al-Kitab, t.t.), hlm.110-111.
[4] Ibid, hlm.115.
[5] Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t., hlm.43
[6] Abdul Qadir Audah, op.cit, hlm.116
[7] Ibid, hlm.261
[8] Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo : Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.t.), hlm.374.
[9] Musthafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Kairo : Maktabah At Tujariyah Al Kubra, 1356 H), hlm.271.
[10] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm.121.