Selasa, 07 Oktober 2014

Fikih Jinayah : Unsur-unsur Jinayah



BAB I
PENDAHULUAN
A.    LATAR BELAKANG
Hukum pidana Islam mengatur segala permasalahan kejahatan yang dilakukan oleh seseorang, karena sudah pasti perbuatan atau kejahatan tersebut melanggar syari’at yang ada. Seseorang yang melakukan kejahatan akan menerima akibatnya seperti dikenakan salah satu jenis jarimah. Dalam hukum pidana Islam, ketentuan-ketentuan tentang jarimah telah diatur sedemikian rupa. Jadi, apabila seseorang berani melakukan sebuah kejahatan, maka dia juga telah siap menerima jarimah sesuai kejahatan yang dia lakukan.
Akan tetapi, pemberian jarimah tidak serta merta diberikan begitu saja. Harus diketahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana agar pemberian jarimah diberikan secara tepat sehingga keadilan dapat tercapai. Karena, suatu perbuatan akan mendapat jarimah apabila unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana itu sendiri terpenuhi.
Umat Islam, perlu mengetahui unsur-unsur yang terkandung dalam tindak pidana, agar sikap yang dipilihnya adalah sikap yang bijak. Karena hal ini menyangkut pula syari’at, dimana Al-Qur’an dan As-Sunnah selamanya akan dipegang teguh. Oleh sebab itu, dalam makalah ini penulis mengangkat tema yang didasarkan pada pentingnya wawasan umat akan unsur-unsur dalam tindak pidana Islam, sehingga penulis akan memaparkan masalah tersebut dalam makalah dengan judul “Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam.”

B.     RUMUSAN MASALAH
1.      Apa pengertian unsur-unsur tindak pidana Islam ?
2.      Bagaimana klasifikasi unsur-unsur tindak pidana Islam ?
  

BAB II
PEMBAHASAN
1.      Pengertian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
Untuk menentukan suatu hukuman terhadap suatu tindak pidana dalam hukum Islam, diperlukan unsur normatif dan moral sebagai berikut [1]: 
a.       Secara yuridis normatif disuatu aspek harus didasari oleh suatu dalil yang menentukan larangan terhadap perilaku tertentu dan diancam dengan hukuman. Aspek lainnya secara yuridis normatif mempunyai unsur materiil, yaitu sikap yang dapat dinilai sebagai suatu pelanggaran terhadap sesuatu yang diperintahkan oleh Allah SWT.
b.      Unsur moral, yaitu kesanggupan seseorang untuk menerima sesuatu yang secara nyata mempunyai nilai yang dapat dipertanggungjawabkan.
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai tindak pidana apabila unsur-unsurnya telah terpenuhi. Unsur-unsur ini ada yang umum dan ada yang khusus. Unsur umum berlaku untuk semua jarimah, sedangkan unsur khusus hanya berlaku untuk masing-masing jarimah dan berbeda antara jarimah yang satu dengan jarimah yang lain.[2]
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam [3]:
a.       Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b.      Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.       Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya. 
Sebagai contoh, suatu perbuatan baru dianggap sebagai pencurian dan pelakunya dapat dikenakan hukuman apabila memenuhi unsure-unsur sebagai berikut :
a.       Ada nash (ketentuan) yang melarangnya dan mengancamnya dengan hukuman. Ketentuan tentang hukuman pencurian ini tercantum dalam Surah Al-Maidah (38) yang berbunyi :
“Laki-laki yang mencuri dan perempuan yang mencuri, potonglah tangan keduanya (sebagai) pembalasan bagi apa yang mereka kerjakan dan sebagai siksaan dari Allah. Dan Allah Maha Perkasa lagi Maha Bijaksana.”
b.      Perbuatan tersebut benar-benar telah dilakukan, walaupun baru percobaan saja. Misalnya sudah mulai membongkar pintu rumah korban, meskipun belum mengambil barang-barang yang ada di dalamnya.
c.       Orang yang melakukannya adalah orang yang cakap (mukallaf) yaitu baligh dan berakal. Dengan demikian apabila orang yang melakukannya gila atau masih di bawah umur maka ia tidak dikenakan hukuman, karena ia orang yang tidak bisa dibebani pertanggungjawaban pidana.

2.      Pengklasifikasian Unsur-Unsur Tindak Pidana Islam
a.       Unsur Formal Jarimah
Suatu perbuatan baru dianggap sebagai jarimah (tindak pidana) apabila sebelumnya sudah ada nash (ketentuan) yang melarang perbuatan tersebut dan mengancamnya dengan hukuman. Unsur ini disebut unsur formal jarimah. Dalam membicarakan unsur formal ini, terdapat lima masalah pokok sebagai berikut :
a)      Asas legalitas dalam hukum pidana Islam
Salah satu kaidah yang penting dalam syariat Islam adalah :
“Sebelum ada nash (ketentuan), tidak ada hukuman bagi perbuatan orang-orang yang berakal sehat.”[4]
            Kaidah di atas juga identik dengan kaidah lain yang berbunyi :
“Pada dasarnya semua perkara dibolehkan, sehingga ada dalil yang menunjukan keharamannya.”[5]
            Kesimpulan dari kaidah tersebut adalah sebagai berikut :
“Suatu perbuatan atau sikap tidak berbuat tidak boleh dianggap sebagai jarimah, kecuali karena adanya nash (ketentuan) yang jelas yang melarang perbuatan dan sikap tidak berbuat tersebut. Apabila tidak ada nash yang demikian sifatnya, maka tidak ada tuntutan atau hukuman atas pelakunya.”[6]
            Asas legalitas yang terkenal di dalam hukum positif telah ada sejak Islam diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Ayat-ayat yang menggambarkan adanya asas legalitas diantaranya adalah Surah Al-Isra ayat 15 dan Al-Qashash ayat 59. Dengan demikian maka syariat Islam telah mengenal lebih dahulu asas ini.
b)      Sumber-sumber aturan-aturan pidana Islam
Jumhur ulama telah sepakat bahwa sumber hukum Islam pada umumnya ada empat, yaitu Al-Qur’an, As-Sunnah, ijma’, dan qiyas. Untuk hukum pidana Islam formil, atau hukum acara pidana semua sumber hukum tersebut bisa terpakai. Akan tetapi, penggunaan qiyas dalam jarimah tertentu masih diperdebatkan oleh para fuqaha.
c)      Masa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Menurut hukum pidana Islam ketentuan tentang masa berlakunya peraturan pidana ini, pada prinsipnya sama dengan hukum positif. Seperti halnya dalam hukum positif, peraturan pidana dalam hukum Islam berlaku sejak ditetapkannya dan tidak berlaku terhadap peristiwa yang terjadi sebelum peraturan itu dikeluarkan. Dengan demikian peraturan pidana dalam hukum pidana Islam juga tidak berlaku surut.[7] Hal ini juga dijelaskan oleh Al-Qur’an Surah An-Nisa ayat 22-23, Al-Maidah ayat 38.
d)     Lingkungan berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Dalam hubungan dengan lingkungan berlakunya peraturan pidana Islam, secara teoritis para fuqaha membagi dunia ini kepada dua bagian, yaitu Negeri Islam dan Negeri Bukan Islam. Termasuk kelompok negeri Islam adalah negeri-negeri dimana hukum Islam tampak di dalamnya, karena penguasanya adalah penguasa Islam. Juga termasuk dalam kelompok ini, negeri dimana penduduknya yang beragama Islam dapat menjalankan hukum-hukum Islam. Termasuk dalam kelompok negeri bukan Islam adalah negeri-negeri yang tidak dikuasai oleh kaum muslimin atau negeri dimana hokum Islam tidak dijalankan walaupun di sana terdapat umat Islam.
e)      Asas pelaku atau terhadap siapa berlakunya aturan-aturan pidana Islam
Hukum pidana syariat Islam khususnya dalam pelaksanaannya tidak membeda-bedakan tingkatan manusia. Sejak pertama kali diturunkan syariat Islam memandang bahwa semua orang di depan hukum itu sama tingkatannya. Tidak ada perbedaan antara orang kaya dan miskin, dan sebagainya. Dalam Islam perbedaan tingkatan itu hanya satu, yaitu yang paling takwa. Allah berfirman dalam Al-Qur’an Surah Al-Hujurat : 13
“Wahai sekalian manusia, kami ciptakan engkau dari laki-laki dan perempuan dan kami jadikan engkau berbangsa-bangsa dan bersuku-suku. Sesungguhnya yang paling mulia diantara kamu adalah yang paling takwa.”
b.      Unsur Materiil Jarimah
Unsur materiil adalah perbuatan atau ucapan yang menimbulkan kerugian kepada individu atau masyarakat. Misalnya dalan jarimah zina unsur materiilnya adalah perbuatan yang merusak keturunan, jarimah qadzaf unsut materiilnya adalah perkataan yang berisi tuduhan zina, sedangkan jarimah pembunuhan unsur materiilnya adalah perbuatan yang mengakibatkan hilangnya nyawa orang lain. Dengan kata lain pengertian unsur materiil dari suatu jarimah adalah sebagaimana yang dikemukakan Muhammad Abu Zahrah :
“Melakukan perbuatan atau perkataan yang dilarang dan telah ditetapkan hukumannya yang dilaksanakan oleh pengadilan.”
a)      Percobaan melakukan jarimah
Dalam pasal 45 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Mesir, dijelaskan tentang pengertian percobaan sebagai berikut :
“Percobaan adalah mulai melaksanakan suatu perbuatan dengan maksud melakukan (jinayah atau janhah), tetapi perbuatan tersebut tidak selesai atau berhenti karena ada sebab yang tidak ada sangkut pautnya dengan kehendak pelaku.”[8]
            Untuk mengetahui sampai dimana suatu perbuatan percobaan dapat dihukum maka terdapat tiga fase pelaksanaan jarimah, yaitu fase pemikiran dan perencanaan, fase persiapan, dan fase pelaksanaan.
            Pada fase pemikiran dan perencanaan, memikirkan dan merencanakan suatu jarimah tidak dianggap sebagai maksiat yang dijatuhi hukuman, karena menurut ketentuan yang berlaku dalam syariat Islam, seseorang tidak dapat dituntut atau dipersalahkan karena lintasan hatinya atau niat yang terkandung di dalam hatinya. Hal ini didasarkan kepada hadis Nabi SAW :
Abu Hurairah ra. Berkata : Nabi SAW telah bersabda : “Sesungguhnya Allah mengampuni umatku karena aku atas apa yang terlintas dalam hatinya, selama belum dikerjakan atau diucapkan.”[9]
            Fase persiapan juga tidak dianggap sebagai maksiat yang dapat dihukum, kecuali apabila perbuatan persiapan itu sendiri dipandang sebagai maksiat. Akan tetapi mazhab Hambali dan Maliki, perbuatan persiapan dipandang sebagai perantara kepada perbuatan yang haram dan hukumnya adalah haram. Sehingga dengan demikian pelakunya dikenakan hukuman.
            Fase pelaksanaan, pada fase inilah perbuatan pelaku dapat dianggap sebagai jarimah. Untuk dikenakan hukuman maka dalam hal ini cukup apabila perbuatan itu sudah dianggap sebagai perbuatan maksiat.
b)      Turut serta melakukan jarimah
Turut serta melakukan jarimah itu ada dua macam yaitu turut serta secara langsung dan secara tidak langsung. Turut serta secara langsung terjadi apabila orang yang melakukan jarimah dengan nyata lebih dari satu orang. Turut berbuat tidak langsung adalah setiap orang yang mengadakan perjanjian dengan orang lain untuk melakukan suatu perbuatan yang dapat dihukum, menyuruh (menghasut) orang lain atau memberikan bantuan dalam perbuatan tersebut disertai dengan kesengajaan.
c)      Unsur Pertanggungjawaban (Moral) Jarimah
a.       Pertanggungjawaban pidana
Pengertian pertanggungjawaban pidana dalam syariat Islam adalah pembebanan seseorang dengan akibat perbuatan atau adanya perbuatan yang dikerjakannya dengan kemauan sendiri, dimana orang tersebut mengetahui maksud dan akibat dari perbuatannya itu.[10]
Orang yang harus bertanggung jawab atas suatu kejahatan adalah orang yang melakukan kejahatan itu sendiri, bukan orang lain. Faktor yang menyebabkan adanya pertanggungjawaban pidana adalah perbuatan maksiat, yaitu mengerjakan perbuatan yang dilarang oleh syara’ atau meninggalkan perbuatan yang diperintahkan oleh syara’. 
b.      Hapusnya pertanggungjawaban pidana
Pertanggungjawaban pidana dapat dihapus karena hal-hal yang bertalian dengan perbuatan atau karena bertalian dengan keadaan pelaku. Sebab-sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang disebut asbab al-ibahah. Sedangkan sebab-sebab yang berkaitan dengan keadaan pelaku disebut asbab raf’i al-uqubah atau sebab hapusnya hukuman.
Abdul Qadir Audah mengemukakan bahwa sebab dibolehkannya perbuatan yang dilarang itu ada enam macam, yaitu pembelaan yang sah, pendidikan dan pengajaran, pengobatan, permainan olahraga, hapusnya jaminan keselamatan, menggunakan wewenang dan melaksanakan kewajiban bagi pihak yang berwajib. Sedangkan sebab-sebab hapusnya hukuman itu ada empat macam, yaitu paksaan, mabuk, gila, dan di bawah umur.
BAB III
PENUTUP
A.    KESIMPULAN
Unsur-unsur umum untuk jarimah itu ada tiga macam :
a.       Unsur formal, yaitu adanya nash (ketentuan) yang melarang perbuatan dan mengancamnya dengan hukuman.
b.      Unsur material, yaitu adanya tingkah laku yang membentuk jarimah, baik berupa perbuatan nyata (positif) maupun sikap tidak berbuat (negatif).
c.       Unsur moral, yaitu bahwa pelaku adalah orang mukallaf yakni orang yang dapat dimintai pertanggungjawaban atas tindak pidana yang dilakukannya
Klasifikasi unsur-unsur jarimah :
a.       Unsur formal jarimah, meliputi asas legalitas, sumber-sumber aturan pidana Islam, masa berlaku, lingkungan berlaku, serta terhadap siapa aturan itu berlaku.
b.      Unsur materiil jarimah, meliputi percobaan dan turut serta melakukan tindak pidana Islam.
c.       Unsur moral (pertanggungjawaban) jarimah, meliputi pertanggungjawaban pidana dan hapusnya pertanggung jawaban pidana.

B.     SARAN
Demikian makalah yang penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah wawasan dan pemahaman kita mengenai unsure-unsur tindak pidana Islam. Penulis menyadari bahwa dalam makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.


DAFTAR PUSTAKA
Ali, Zainuddin, Hukum Pidana Islam, Jakarta : Sinar Grafika, 2009.

As-Sayuthi, Jalaluddin, Al Asybah wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t.

Audah, Abdul Qadir, At Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, Beirut : Dar Al-Kitab, t.t.

Hanafi, A., Asas-Asas Hukum Pidana Islam, Jakarta : Bulan Bintang, 1967.
‘Imarah, Musthafa Muhammad Jawahir Al Bukhari, Kairo : Maktabah At Tujariyah Al Kubra, 1356 H.
Muslich, Ahmad Wardi, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, Jakarta : Sinar Grafika, 2006.
Zahrah, Muhammad Abu, Al Jarimah wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, Kairo : Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.t.



[1] Zainuddin Ali, Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Sinar Grafika, 2009), hlm.22.
[2] Ahmad Wardi Muslich, Pengantar dan Asas Hukum Pidana Islam Fikih Jinayah, (Jakarta : Sinar Grafika, 2006), hlm.27-28.
[3] Abdul Qadir Audah, At Tasyri’ Al-Jinay Al-Islamiy, (Beirut : Dar Al-Kitab, t.t.), hlm.110-111.
[4] Ibid, hlm.115.
[5] Jalaluddin As-Sayuthi, Al Asybah wa An Nazhair fi Al Furu’, Dar Al Fikr, t.t., hlm.43
[6] Abdul Qadir Audah, op.cit, hlm.116
[7] Ibid, hlm.261
[8] Muhammad Abu Zahrah, Al Jarimah wa Al Uqubah fi Al Fiqh Al Islamy, (Kairo : Maktabah Al Angelo Al Mishriyah, t.t.), hlm.374.
[9] Musthafa Muhammad ‘Imarah, Jawahir Al Bukhari, (Kairo : Maktabah At Tujariyah Al Kubra, 1356 H), hlm.271.
[10] A. Hanafi, Asas-Asas Hukum Pidana Islam, (Jakarta : Bulan Bintang, 1967), hlm.121.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar