BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Pada abad millenium saat ini, pendidikan di
Indonesia berkembang sangat pesat. Dari mulai pendidikan yang berbasis murni
ilmu pengetahuan, hingga pendidikan yang berbasis murni agama. Masyarakat telah
menikmati fasilitas berbagai bidang pendidikan ini guna memperkaya akan
kebutuhan ilmu pengetahuan, serta mendedikasikan diri menjadi insan yang
berwawasan luas. Sebagai masyarakat yang baik, kita tidak cukup hanya puas
dengan pendidikan yang telah kita dapatkan selama ini. Kita harus mengetahui
pula bagaimana sejarahnya pendidikan dapat berkembang pesat hingga saat ini.
Apakah berjalan lancar atau banyak hambatan.
Jika berbicara tentang masalah pendidikan,
pendidikan di Indonesia diwarnai oleh pendidikan yang berbasis agama, atau yang
biasa kita kenal dengan pondok pesantren (ponpes). Di era globalisasi yang
telah merasuk di Negara ini, pondok pesantren menjadi salah satu pendidikan
yang patut dijadikan pembahasan. Kita tilik bahwasannya pondok pesantren saat
ini lebih populer dikenal dengan nama “pondok modern”. Pondok pesantren saat
ini terasa modern dikarenakan pendidikan yang digunakan tidak semata-mata murni
pendidikan agama, melainkan ilmu pengetahuan umum telah banyak diikutsertakan
dalam pendidikan pondok pesantren.
Setelah kita mengetahui bahwa pondok pesantren saat
ini dikenal dengan “pondok modern”, kita harus mengetahui pula bagaimana
sejarah pondok pesantren itu sendiri, apakah banyak mengalami perkembangan atau
stagnan. Karena sangat penting kita tahu sejarahnya, agar kita tidak memandang
sebelah mata pendidikan pondok pesantren seperti halnya pandangan masyarakat
saat ini. Oleh karena itu, penulis mengangkat permasalahan tersebut di atas,
dengan judul makalah “Sejarah Berdiri dan Perkembangan Pondok Pesantren” dan akan
diuraikan dalam bab pembahasan.
B. RUMUSAN MASALAH
Berdasarkan latar
belakang yang telah diuraikan di atas, rumusan masalah yang akan dibahas, yaitu
:
1. Bagaimana awal mula berdirinya pondok pesantren di
Indonesia ?
2. Bagaimana perkembangan pondok pesantren
prakemerdekaan hingga abad ke-21?
3. Apa tujuan adanya pendidikan pesantren?
4. Apa saja unsur-unsur pendidikan pesantren?
5. Apa saja model-model pendidikan pesantren?
6. Bagaimana analisis terhadap perkembangan pesantren?
BAB II
PEMBAHASAN
1. Awal Mula
Berdirinya Pondok Pesantren (PonPes)
Pesantren sebagai
pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan
kedatangan agama Islam di negeri kita. Asal-usul pesantren
tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa.
Lembaga pendidikan ini telah berkembang khususnya di Jawa selama berabad-abad.
Maulana Malik Ibrahim, Spiritual Father
Walisongo, dalam masyarakat santri Jawa biasanya dipandang sebagai guru-gurunya
tradisi pesantren di tanah Jawa.[1]
Keterangan-keterangan sejarah yang berkembang dari
mulut ke mulut (oral history)
memberikan indikasi yang kuat bahwa pondok pesantren tertua, baik di Jawa
maupun luar Jawa, tidak dapat dilepaskan dari inspirasi yang diperoleh melalui
ajaran yang dibawa para Walisongo.[2]
Para Wali Songo tidak begitu kesulitan
untuk mendirikan pesantren karena telah ada sebelumnya Institusi Pendidikan
Hindu-Budha dengan sistem biara dan asrama sebagai tempat belajar mengajar bagi
para bikshu dan pendeta di Indonesia.
Alwi Shihab menegaskan bahwa Syaikh Maulana Malik
Ibrahim atau Sunan Gresik merupakan orang pertama yang membangun pesantren
sebagai tempat mendidik dan menggembleng para santri. Tujuannya, agar para
santri menjadi juru dakwah yang mahir sebelum mereka diterjunkan langsung di
masyarakat luas.[3]
Terdapat kesepakatan
diantara ahli sejarah Islam yang menyatakan bahwa pendiri pesantren
pertama adalah dari kalangan Walisongo, namun terdapat perbedaan pendapat
mengenai siapa dari mereka yang pertama kali mendirikannya. Ada yang
mengganggap bahwa Maulana Malik Ibrahim-lah pendiri pesantren pertama, adapula
yang menganggap Sunan Ampel, bahkan ada pula yang menyatakan pendiri pesantren
pertama adalah Sunan Gunung Jati Syarif Hidayatullah. Akan tetapi pendapat
terkuat adalah pendapat pertama. Karena pendirian pesantren pada periode awal
ini terdapat di daerah-daerah sepanjang pantai utara Jawa, seperti Giri
(Gresik), Ampel Denta (Surabaya), Bonang (Tuban), Kudus, Lasem, Cirebon, dan
sebagainya.[4]
2. Perkembangan
Pondok Pesantren Prakemerdekaan hingga Abad Ke-21
Satu abad setelah masa
Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo diperkuat oleh Sultan Agung yang
memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Sultan Agung merupakan penguasa
terbesar di Jawa, yang juga terkenal sebagai Sultan Abdurrahman dan Khalifatullah
Sayyidin Panotogomo ing Tanah Jawi, yang berarti Khalifatullah pemimpin dan penegak agama di tanah Jawa. Dia
memproklamirkan kalender Islam di Jawa. Dengan system kalender baru ini,
nama-nama bulan dan hari Hijriyyah seperti Muharram dan Ahad dengan mudah
menjadi ucapan sehari-hari lisan Jawa.[5]
Pada tahun 1641, Sultan
Agung memperoleh gelar baru “Sultan Abdullah Muhammad Maulana Matarani” dari
Syarrif Mekkah setelah Sultan Agung mengirim utusan ke Mekkah untuk memohon
anugrah title tersebut tahun 1639. Agaknya Mekkah telah lama memainkan peran
penting dalam memperkuat legitimasi politik, keagamaan, serta orientasi
pendidikan dunia Islam. Sultan Agung menawarkan tanah perdikan[6]
bagi kaum santri serta memberi iklim sehat bagi kehidupan intelektualisme
keagamaan hingga komunitas ini berhasil mengembangkan lembaga pendidikan mereka
tidak kurang dari 300 pesantren.[7]
Pada masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami
ujian dan cobaan dari Allah, pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yang
sangat membatasi ruang gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan
hilangnya kekuasaan mereka. Sejak perjanjian Giyanti, pendidikan dan
perkembangan pesantren dibatasi oleh Belanda. Belanda bahkan menetapkan
resolusi pada tahun 1825 yang membatasi jumlah jama’ah haji. Selain itu, Belanda
juga membatasi kontak atau hubungan orang Islam Indonesia dengan negara-negara
Islam yang lain. Hal-hal ini akhirnya membuat pertumbuhan dan pekembangan Islam
menjadi tersendat.
Sebagai respon atas penindasan Belanda, kaum santri
pun mengadakan perlawanan. Menurut Clifford Geertz, antara 1820-1880, telah
terjadi pemberontakan besar kaum santri di Indonesia, yaitu pemberontakan kaum
Paderi di Sumatra dipimpin oleh Imam Bonjol, pemberontakan Diponegoro di Jawa,
pemberontakan Banten akibat aksi tanam paksa yang dilakukan Belanda, pemberontakan
di Aceh yang dipimpin antara lain oleh Teuku Umar dan Teuku Ciktidiro.
Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan
langkah, visi dan misi demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu
melebur menjadi satu dengan nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia).
Pada masa Jepang ini pula kita saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta
kalangan santri menentang kebijakan kufur Jepang yang memerintahkan setiap
orang pada pukul tujuh pagi untuk menghadap arah Tokyo menghormati kaisar
Jepang yang dianggap keturunan dewa matahari sehingga beliau ditangkap dan
dipenjara delapan bulan.
Pada
masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut berjuang mempertahankan
kemerdekaan Indonesia. K.H. Hasyim Asy’ari pada waktu itu mengeluarkan fatwa,
wajib hukumnya mempertahankan kemerdekaan. Fatwa tersebut disambut
positif oleh umat Islam sehingga membuat arek-arek Surabaya dengan Bung
Tomo sebagai komando, dengan semboyan “Allahhu Akbar!! Merdeka atau mati” tidak
gentar menghadapi Inggris dengan segala persenjataanya pada tanggal 10
November. Diperkirakan sepuluh ribu orang tewas pada waktu itu. Namun hasilnya,
Inggris gagal menduduki Surabaya.
Setelah perang kemerdekaan, pesantren
mengalami ujian kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan
penyeragaman atau pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut
sistem barat ala Snouck Hurgronje. Akibatnya pengaruh pesantren pun mulai
menurun, jumlah pesantren berkurang, hanya pesantren besar yang mampu bertahan.
Hal ini dikarenakan pemerintah mengembangkan sekolah umum sebanyak-banyaknya.
Berbeda pada masa Belanda yang terkhusus untuk kalangan tertentu saja dan
disamping itu jabatan-jabatan dalam administrasi modern hanya terbuka luas bagi
orang-orang bersekolah di sekolah tersebut.
Pada
masa Soekarno pula, pesantren harus berhadapan dengan kaum komunis. Banyak
sekali pertikaian di tingkat bawah yang melibatkan kalangan santri dan kaum
komunis. Sampai pada puncaknya setelah peristiwa G30S/PKI, kalangan santri
bersama TNI dan segenap komponen yang menentang komunisme memberangus habis
komunisme di Indonesia. Diperkirakan lima ratus ribu nyawa komunis
melayang akibat peristiwa ini. Peristiwa ini bisa dibilang merupakan peristiwa
paling berdarah di republik ini, namun hasilnya komunisme akhirnya lenyap dari
Indonesia.
Biarpun begitu,
dengan jasa yang demikian besarnya, pemerintahan Soeharto seolah tidak mengakui
jasa pesantren. Soeharto masih meneruskan lakon pendahulunya yang tidak
mengakui pendidikan ala pesantren. Kalangan santri dianggap manusia kelas dua yang
tidak dapat melanjutkan pendidikannya ke perguruan tinggi dan tidak bisa
diterima menjadi pegawai-pegawai pemerintah. Agaknya, hal ini memang sengaja
direncanakan secara sistematis untuk menjauhkan orang-orang Islam dari struktur
pemerintahan guna melanggengkan ideologi sekuler.
Namun demikian, pesantren pada kedua orde
tersebut tetap mampu mencetak orang-orang hebat yang menjadi orang-orang
penting di negara kita seperti, K.H. Wahid Hasyim, M. Nastir, Buya Hamka, Mukti
Ali, K.H. Saifuddin Zuhri, dl
Pada dekade pertama
abad 20 ditandai dengan munculnya “anak pesantren” yang berupa lembaga
pendidikan madrasah. Lembaga ini tumbuh menjamur pada dekade pertama dan kedua
dalam rangka merespons sistem klasikal yang dilancarkan pemerintah Belanda
sebelumnya. Meskipun ada beberapa perbedaan antara pesantren dan madrasah, tapi
hubungan historis, kultural, moral, ideologis antara keduanya tidak dapat
dipisahkan.[8]
Populasi pondok pesantren ini semakin bertambah dari
tahun ke tahun, baik pondok pesantren tipe salafiyah
maupun khalafiyah yang kini tersebar
di penjuru tanah air. Pesatnya pertumbuhan pesantren ini akan sekan mendorong
pemerintah untuk melembagakannya secara khusus. Sehingga keluarlah surat
keputusan Menteri Agama Republik Indonesia nomor 18 tahun 1975 tentang susunan
organisasi dan tata kerja Departemen agama yang kemudian diubah dan
disempurnakan dengan keputusan Menteri Agama RI nomor 1 tahun 2001. Dengan
keluarnya surat keputusan tersebut, maka pendidikan pesantren dewasa ini telah
mendapatkan perhatian yang sama dari pemerintah terutama Departemen Agama. Data
yang diperoleh dari kantor Dinas Pendidikan, Departemen Agama serta
Pemerintahan Daerah, sebagaian besar anak putus sekolah, tamatan sekolah dasar
dan madrasah ibtidaiyah, mereka tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang
lebih tinggi, namun mereka tersebar di pondok pesantren dalam jumlah yang
relatif banyak.
Kondisi pondok pesantren yang demikian akhirnya
direspons oleh pemerintah. Sehingga lahirlah kesepakatan bersama antara
departemen Agama dan departemen Pendidikan dengan nomor 1/U/KB/2000 dan
MA/86/2000 tentang pedoman pelaksanaan pondok pesantren salafiyah sebagai pola pendidikan dasar. Secara eskplisit, untuk
operasionalnya, setahun kemudian keluar surat keputusan Direktur Jendral
Kelembagaan Agama Islam, nomor E/239/2001 tentang panduan teknis
penyelenggaraan program wajib belajar pendidikan dasar pada pondok pesantren salafiyah. Lahirnya UU nomor 02 tahun
1989, yang disempurnakan menjadi UU nomor 20 tahun 2003 tentang sistem
pendidikan nasional pada pasal 30 ayat 1 sampai ayat 4 disebutkan pendidikan
keagamaan, pondok pesantren termasuk bagian dari sistem pendidikan nasional.
3.
Tujuan
Pendidikan Pesantren
Pesantren
sebagai lembaga pendidikan tidak memiliki formulasi tujuan yang jelas, baik
dalam tataran institusional, kurikuler maupun instruksional umum dan khusus.
Tujuan yang dimilikinya hanya ada dalam angan-angan. Mastuhu melaporkan bahwa
tidak pernah dijumpai perumusan tujuan pendidikan pesantren yang jelas dan
standar yang berlaku umum bagi pesantren.[9] Pokok
persoalannya bukan karena ketiadaan tujuan, melainkan tidak tertulisnya tujuan.
Perkiraan mungkin hanya didasarkan pengamatan dari sudut pandang parsial bukan
holistik, sehingga tujuan yang dirumuskan belum merefleksikan realitas
sebenarnya atau hanya menunjuk pada rincian yang global.
Hiroko
Horikoshi melihat dari segi otonominya, maka tujuan pesantren menurutnya adalah
untuk melatih para santri memiliki kemampuan mandiri.[10]
Sedang Manfred Ziemek tertarik melihat sudut keterpaduan aspek perilaku dan
intelektual. Tujuan pesantren menurutnya adalah membentuk kepribadian,
memantapkan akhlak dan melengkapinya dengan pengetahuan.[11]
Sedangkan
menurut Mastuhu tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat
kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat tetapi
rasul, yaitu menjadi pelayan masyarakat sebagaimana kepribadian Nabi Muhammad
(mengikuti Sunnah Nabi), mampu berdiri sendiri, bebas, dan teguh dalam
kepribadian, menyebarkan agama atau menegakkan Islam dan kejayaan umat di
tengah-tengah masyarakat dan mencintai ilmu dalam rangka mengembangkan
kepribadian manusia.[12]
4.
Unsur-Unsur
Pesantren
Pesantren
memiliki unsur-unsur minimal, yaitu :
a.
Kiai yang mendidik dan mengajar.
b.
Santri yang belajar.
c.
Masjid
Tiga
unsur ini mewarnai pesantren pada awal berdirinya atau bagi pesantren-pesantren
kecil yang belum mampu mengembangkan fasilitasnya. Unsur pesantren dalam bentuk
segitiga tersebut mendeskripsikan kegiatan belajar-mengajar keislaman yang
sederhana. Kemudian pesantren mengembangkan fasilitas-fasilitas belajarnya
sebab tuntutan perubahan system pendidikan sangat mendesak serta bertambahnya
santri yang belajar dari kabupaten atau propinsi lain yang membutuhkan tempat
tinggal. Maka unsur-unsur pesantren bertambah banyak. [13] Para
pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu Kiai, santri, masjid, pondok, dan
pengajian.[14]
Ada yang tidak menyebut unsur pengajian, tetapi menggantinya dengan unsur ruang
belajar, aula, atau bangunan-bangunan lain.
Kiai
disamping pendidik dan pengajar, juga pemegang kendali manajerial pesantren.
Bentuk pesantren yang bermacam-macam adalah pantulan kecenderungan Kiai. Kiai
memiliki sebutan yang berbeda-beda tergantung daerah tempat tinggalnya. Kiai
disebut alim bila ia benar-benar memahami, mengamalkan dan memfatwakan kitab
kuning. Kiai demikian ini menjadi panutan bagi santri pesantren, bahkan bagi
masyarakat Islam secara luas. Mohammad Tholchah Hasan melihat Kiai dari empat
sisi yakni kepemimpinan ilmiah, spiritualitas, sosial, dan administrasinya.
Santri
merupakan peserta didik atau objek pendidikan, tetapi di beberapa pesantren,
santri yang memiliki kelebihan potensi intelektual (santri senior) sekaligus
merangkap tugas mengajar santri-santri yunior. Sikap santri sekarang ini ada
dua macam, yaitu :
a.
Sikap taat dan patuh yang sangat tinggi
kepada kiainya, tanpa pernah membantah. Sikap ini dimiliki santri dan lulusan
pesantren an sich.
b.
Sikap taat dan petuh sekedarnya. Sikap
ini ada pada santri yang memperoleh pendidikan umum.
Masjid
memiliki fungsi ganda, selain tempat shalat dan ibadah lainnya juga tempat
pengajian terutama yang masih memakai metode sorogan dan wetonan (bandongan).
Menurut Abdurrahman Wahid, masjid sebagai tempat mendidik dan menggembleng
santri agar lepas dari hawa nafsu.
Asrama
sebagai tempat penginapan santri, dan difungsikan untuk mengulang kembali
pelajaran yang telah disampaikan kiai atau ustadz, dan pengajian umumnya
mengkaji kitab-kitab Islam klasik kecuali pada pesantren modern tertentu.
Sedang aula dan bangunan lain merupakan upaya pengembangan fasilitas yang
dimanfaatkan untuk pertemuan ilmiah yang membutuhkan ruangan besar dan luas,
atau untuk pementasan.
5.
Model-Model
Pesantren
Pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa
sistem pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan
perkembangan dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI mengeluarkan
peraturan nomor 3 tahun 1979, yang mengklasifikasikan pondok pesantren sebagai
berikut :
a.
Pondok Pesantren tipe A, yaitu dimana
para santri belajar dan bertempat tinggal di asrama lingkungan pondok pesantren
dengan pengajaran yang berlangsung secara tradisional (sistem wetonan atau
sorogan).
b.
Pondok Pesantren tipe B, yaitu yang
menyelenggarakan pengajaran secara klasikal dan pengajaran oleh Kyai bersifat
aplikasi, diberikan pada waktu-waktu tertentu. Santri tinggal di asrama
lingkungan pondok pesantren.
c.
Pondok Pesantren tipe C, yaitu pondok
pesantren hanya merupakan asrama sedangkan para santrinya belajar di luar (di
madrasah atau sekolah umum lainnya), Kyai hanya mengawasi dan sebagai pembina
para santri tersebut.
d.
Pondok Pesantren tipe D, yaitu yang
menyelenggarakan sistem pondok pesantren dan sekaligus sistem sekolah atau
madrasah.
Dari sekian banyak tipe pondok pesantren, dalam
menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para santrinya, secara garis
besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok pesantren:
a.
Pondok Pesantren Salafiyah, yaitu yang menyelenggarakan pengajaran Al-Qur’an dan
ilmu-ilmu agama Islam, serta kegiatan pendidikan dan pengajarannya sebagaimana
yang berlangsung sejak awal pertumbuhannya.
b.
Pondok Pesantren Khalafiyah, yaitu pondok pesantren yang selain menyelenggarakan
kegiatan pendidikan kepesantrenan, juga menyelenggarakan kegiatan pendidikan
formal (sekolah atau madrasah).
6.
Analisis
Terhadap Perkembangan Pesantren
Setelah
kita mengetahui bagaimana sejarah panjang berdiri serta perkembangan pondok
pesantren, kita masih perlu menganalisa agar kita mendapatkan pemahaman yang
lebih mengenai seluk beluk pondok pesantren. Dari beberapa versi pendapat, kita
dapat mengikuti atau mendukung versi pendapat yang terkuat. Bahwasanya
Walisongo yang berperan sangat besar bagi berkembangnya pondok pesantren.
Hambatan pasti dilalui oleh ke-9 para Wali tersebut. Tetapi dengan semangat
dakwah yang mereka tanam dalam benak mereka, kita dapat melihat buah dari
semangat mereka. Sultan Agung yang
juga berperan penting bagi perkembangan pondok pesantren harus kita akui
jasanya. Berkat beliau pula, pondok pesantren dapat menyebar dengan luas.
Pada masa penjajahan, pondok pesantren mengalami masa
keterpurukannya. Dimana ruang geraknya untuk berkembang dan menjalankan segala
aktivitasnya dengan maksimal terbelenggu. Tetapi kita perlu mengapresiasi akan
keberanian pihak-pihak pondok pesantren, khususnya para santri. Dengan berbagai
pergolakan-pergolakan yang dibentuk, dengan tujuan untuk mengembalikan hak-hak
rakyat dan untuk menghapus penjajahan, kita tidak boleh begitu saja
melupakannya. Kita bisa lihat bahwa bagaimana pondok pesantren saat ini dengan
sesuka hati melakukan berbagai aktivitas pesantren.
Di era reformasi hingga sekarang, kita juga harus
mengapresiasi kinerja pemerintah, bahwasannya pemerintah telah mendukung
sepenuhnya bagi pendidikan pesantren di Indonesia. Dimana ruang gerak pondok
pesantren tidak dibatasi, dan bahkan telah berkembang menjadi pondok pesantren
yang modern, dengan memberikan porsi yang seimbang antara ilmu agama dan ilmu
pengetahuan umum.
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Pesantren sebagai
pusat penyebaran agama Islam lahir dan berkembang semenjak masa-masa permulaan
kedatangan agama Islam di negeri kita. Asal-usul pesantren
tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan pengaruh Walisongo abad 15-16 di Jawa. Satu abad setelah masa Walisongo, abad 17, pengaruh Walisongo
diperkuat oleh Sultan Agung yang memerintah Mataram dari tahun 1613-1645. Pada
masa penjajahan Belanda, pesantren mengalami ujian dan cobaan dari Allah,
pesantren harus berhadapan dengan dengan Belanda yang sangat membatasi ruang
gerak pesantren, dikarenakan kekhawatiran Belanda akan hilangnya kekuasaan
mereka. Pada masa penjajahan Jepang untuk menyatukan langkah, visi dan misi
demi meraih tujuan, organisasi-organisasi tertentu melebur menjadi satu dengan
nama Masyumi (Majelis Syuro Muslimin Indonesia). Pada masa Jepang ini pula kita
saksikan perjuangan K.H. Hasyim Asy’ari beserta kalangan santri menentang
kebijakan kufur Jepang. Pada masa awal-awal kemerdekaan kalangan santri turut
berjuang mempertahankan kemerdekaan Indonesia. Pesantren mengalami ujian
kembali dikarenakan pemerintahan sekuler Soekarno melakukan penyeragaman atau
pemusatan pendidikan nasional yang tentu saja masih menganut sistem barat ala
Snouck Hurgronje.
Tujuan pendidikan pesantren adalah menciptakan dan
mengembangkan kepribadian Muslim, yaitu kepribadian yang beriman dan bertakwa
kepada Tuhan, berakhlak mulia, bermanfaat bagi masyarakat atau berkhidmat
kepada masyarakat dengan jalan menjadi kawula atau abdi masyarakat. Para
pengamat mencatat ada lima unsur, yaitu Kiai, santri, masjid, pondok, dan
pengajian. Pada awal abad kedua puluhan ini, unsur baru berupa sistem
pendidikan klasikal mulai memasuki pesantren. Sejalan dengan perkembangan
dan perubahan bentuk pesantren, Menteri Agama RI mengeluarkan peraturan nomor 3
tahun 1979. Dari sekian banyak tipe
pondok pesantren, dalam menyelenggarakan pendidikan dan pengajaran bagai para
santrinya, secara garis besar dapat dikelompokkan ke dalam dua bentuk pondok
pesantren, salafiyah dan khalafiyah.
B. SARAN
Demikian makalah yang
penulis buat, semoga dengan adanya makalah ini dapat menambah ilmu pengetahuan
kita dalam mengenal sejarah pondok pesantren. Penulis menyadari bahwa dalam
makalah ini masih terdapat banyak kekurangan baik dari segi tulisan maupun referensi
yang menjadi bahan rujukan. Untuk itu penulis dengan senang hati menerima
kritik dan saran yang diberikan, guna penyempurnaan makalah penulis berikutnya.
DAFTAR PUSTAKA
Haedari,
Amin dkk, Masa Depan Pesantren, Jakarta
: IRD PRESS, 2004.
Mastuhu,
Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren
Suatu Kajian Tentang Unsur dan Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, Jakarta :
INIS, 1994.
Ziemek, Manfred,
Pesantren dan Perubahan Sosial, Jakarta
: P3M, 1986.
Qomar,
Mujamil, Pesantren dari Transformasi
Metodologi Menuju Demokrasi Institusi, Jakarta : Penerbit Erlangga, t.t.
Syarif, Mustofa, Administrasi Pesantren, Jakarta : PT.
Paryu Barkah, t.t.
Mas’ud,
Abdurrahman, Intelektual Pesantren,
(Yogyakarta : LKis, 2004).
----------, dkk,
Dinamika Pesantren dan Madrasah,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002).
Shihab, Alwi, Islam Inklusif, (Bandung : Mizan, 2002).
Steenbrink, Beberapa Aspek tentang Islam di Indonesia
Abad ke-19, (Jakarta, 1984).
Zuhri,
Saifuddin, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : Al-Ma’arif Bandung, 1979).
[1] Saifuddin Zuhri, Sejarah Kebangkitan Islam dan
Perkembangannya di Indonesia, (Bandung : Al-Ma’arif Bandung, 1979),
hal.263.
[2] Abdurrahman Mas’ud, Intelektual Pesantren, (Yogyakarta :
LKis, 2004), hal.63.
[3] Alwi Shihab, Islam Inklusif, (Bandung : Mizan, 2002),
hal.23.
[4] Amin Haedari, dkk, Masa Depan Pesantren, (Jakarta : IRD
PRESS, 2004), hal.7.
[5] Abdurrahman Mas’ud, dkk, Dinamika Pesantren dan Madrasah,
(Yogyakarta : Pustaka Pelajar, 2002), hal.10.
[6] Tanah perdikan, tanah dengan
beberapa privileges, adalah sebuah
lokasi untuk kepentingan kehidupan beragama yang dibebaskan dari pajak Negara.
Lihat Steenbrink, Beberapa Aspek tentang
Islam di Indonesia Abad ke-19, (Jakarta, 1984), hal.165-172.
[7] Ibid, hal.11-12.
[8] Ibid, hal.23.
[9] Mastuhu, Dinamika Sistem Pendidikan Pesantren Suatu Kajian Tentang Unsur dan
Nilai Sistem Pendidikan Pesantren, (Jakarta : INIS, 1994), hal.59.
[10] Ibid, hlm.59.
[11] Manfred Ziemek, Pesantren dan Perubahan Sosial, (Jakarta
: P3M, 1986), hal.157.
[12] Mastuhu, op.cit, hal.55-56.
[13] Mujamil Qomar, Pesantren dari Transformasi Metodologi
Menuju Demokrasi Institusi, (Jakarta : Penerbit Erlangga, t.t.), hal.19.
[14] Mustofa Syarif, Administrasi Pesantren, (Jakarta : PT.
Paryu Barkah, t.t.), hal.6.
KISAH CERITA SAYA SEBAGAI NAPI TELAH DI VONIS BEBAS ALLHAMDULILLAH
BalasHapusDARI BERKAT BANTUAN BPK Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H., M.H BELIAU SELAKU PANITERA MUDA DI KANTOR MAHKAMAH AGUNG (M.A) DAN TERNYATA BELIAU BISA MENJEMBATANGI KEJAJARAN PA & PN PROVINSI.
Assalamu'alaikum sedikit saya ingin berbagi cerita kepada sdr/i , saya adalah salah satu NAPI yang terdakwah dengan penganiayaan pasal 351 KUHP dengan ancaman hukuman 2 Tahun 8 bulan penjara, singkat cerita sewaktu saya di jengut dari salah satu anggota keluarga saya yang tinggal di jakarta, kebetulan dia tetangga dengan salah satu anggota panitera muda perdata M.A, dan keluarga saya itu pernah cerita kepada panitera muda M.A tentang masalah yang saya alami skrg, tentang pasal 351 KUHP, sampai sampai berkas saya di banding langsun ke jakarta, tapi alhamdulillah keluarga saya itu memberikan no hp pribadi bpk Dr. H. Ridwan Mansyur ,S.H., M.H Beliau selaku panitera muda perdata di kantor M.A pusat, dan saya memberanikan diri call beliau dan meminta tolong sama beliau dan saya juga menjelas'kan masalah saya, dan alhamdulillah beliau siap membantu saya setelah saya curhat masalah kasus yang saya alami, alhamdulillah beliau betul betul membantu saya untuk di vonis dan alhamdulillah berkat bantuan beliau saya langsun di vonis bebas dan tidak terbukti bersalah, alhamdulillah berkat bantuan bpk Dr. H. Ridwan Mansyur, S.H., M.H beliau selaku ketua panitera muda perdata di kantor Mahkamah Agung R.I no hp bpk Dr. H. Ridwan Mansyur , S.H.,M.H 0823-5240-6469 Bagi teman atau keluarga teman yang lagi terkenah musibah kriminal, kalau belum ada realisasi masalah berkas anda silah'kan hub bpk Dr. H. Ridwan semoga beliau bisa bantu anda. Wassalam.....
Top 10 Best Casinos with Slots by Payout Percentage - DRMCD
BalasHapusThis is the number of games with the highest payouts. The 의정부 출장샵 most important thing 대구광역 출장샵 to remember about paying slot 논산 출장안마 players a penny 경산 출장안마 is how they win. 인천광역 출장안마